Hiruk-pikuk pemilu 2009 usai sudah. Partai-partai politik pun lalu sibuk menyongsong ajang pemilihan presiden atau pilpres. Tapi, satu hal tak boleh dilupa: jutaan warga negara telah dirampas haknya untuk memilih pada pemilu 9 April 2009 Fakta inilah yang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru-baru ini telah diputuskan akan ditindaklanjuti melalui penggunaan hak angket DPR.
KRISIS multidimensi yang menerpa negara kita sejak akhir dekade 1990-an di satu sisi memang membawa angin segar demokratisasi di negeri ini. Sehingga tak ayal, Indonesia kini tercatat sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah AS dan India. Akan tetapi, di sisi lain, krisis tersebut juga membuka kotak pandora kesadaran kita, bahwa banyak hal keliru yang telah dilansir rezim Orde Baru selama 32 tahun kekuasaannya.
Saudara-saudara, para nasionalis dan Soekarnois sejati, kader PDI Perjuangan!
Pemimpin boleh saja mati atau berganti. Namun ajaran pemimpin rakyat sejati akan tetap diikuti dan menjadi inspirasi abadi bagi bangsa ini. Demikian pula dengan ajaran-ajaran Bung Karno. Bung Karno memang telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, beristirahat dengan tenang di kota kelahirannya, Blitar, Jawa Timur. Tetapi, selama NKRI masih tegak berdiri, maka pemikiran atau gagasannya akan tetap hidup dan menjadi rujukan bagi ratusan juta warga negeri ini. Pada saat bangsa ini beruntun ditimpa krisis multi dimensi, misalnya, maka seperti saya kutip di atas, ucapannya dapat menjadi api semangat bagi kita untuk bangkit dan tidak menyerah pada keadaan.
MARAKNYA wacana dikotomis yang mengasumsikan pemimpin muda seolah-olah identik dengan perubahan atau perbaikan kondisi bangsa, dan sebaliknya pemimpin tua seperti barang kadaluarsa yang tak layak pakai lagi, adalah terminologi keliru dan sangat menyesatkan. Wacana ini juga bersifat black campaign atau pembunuhan karakter kepada generasi pemimpin yang lebih berpengalaman, dan karena itu melanggar fatsoen atau tata krama politik.
SECARA Historis, bangsa Indonesia, apalagi yang berasal dari kalangan penduduk bumiputera atau pribumi, diperlakukan dengan sangat diskriminatif oleh kaum penjajah. Diskriminasi itu menyentuh segala aspek, tak hanya aspek ekonomi dan politik, tapi juga dalam lapangan pendidikan. Sementara warga keturunan Belanda, Eropa, atau Timur Asing boleh mengenyam pendidikan secara leluasa, tidak demikian halnya dengan bangsa
Universitas adalah tempat untuk memahirkan diri kita,
bukan saja di lapangan technical and managerial know how,
tetapi juga di lapangan mental, di lapangan cita-cita,
di lapangan ideologi, di lapangan pikiran.
Jangan sekali-kali universitas menjadi tempat perpecahan.
***
(Soekarno, Kuliah umum di Universitas Pajajaran, Bandung, 1958).
PIDATO Bung Karno di atas sengaja saya kutip untuk mengawali tulisan ini. Sebab isi pidato tersebut sangat visioner. Ia mengingatkan kepada para mahasiswa Indonesia dan para sivitas akademika umumnya, agar tidak sekadar menjadikan kampus perguruan tinggi sebagai sarana menuntut ilmu yang bersifat teknis belaka –sesuai spesialisasi masing-masing. Akan tetapi, kita juga harus menjadikan kampus sebagai sarana menggembleng kaum muda sebagai calon pemimpin bangsa masa depan.
SEBAGAI koreksi atas penyimpangan Orde Baru, maka salah satu tuntutan rakyat yang disuarakan Gerakan Reformasi 1998 ialah ditegakkannya pemerintahan yang baik dan bersih dari segala pencemaran korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Amanat rakyat inilah yang kemudian dituangkan oleh MPR dalam bentuk ketetapan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari KKN. Amanat ini kemudian ditindaklanjuti Presiden Megawati Soekarnoputeri waktu itu, antara lain dengan Keppres No. 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Keppres ini tanpa kecuali juga berlaku bagi kalangan BUMN.
“Sesungguhnya seorang pemimpin (imam) laksana perisai;
orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung.”
(Hadis Riwayat Muslim)
KEPEMIMPINAN (leadership), menurut sosiolog Profesor Soerjono Soekanto, secara umum memiliki makna kemampuan dari seseorang –yang memiliki posisi sebagai pemimpin atau leader— untuk mempengaruhi orang lain –yakni para pengikut—, sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki sang pemimpin. Apabila para pemimpin gagal melaksanakan tugasnya ini, maka kepemimpinannya menjadi tidak efektif, dan akibatnya terjadilah krisis kepemimpinan. Inilah yang saat ini tengah dihadapi bangsa kita. Kita mengalami krisis kepemimpinan nasional. Sebab pemimpin nasional yang ada gagal menjadi sumber inspirasi bangsa. Mereka gagal mengajak rakyat bangkit melawan segala keterpurukan yang menjerat bangsa kita sejak satu dekade terakhir.
KETIKA harga komoditas beras naik, pemerintah sigap mengatasi dengan beragam cara: operasi pasar atau impor beras. Akibatnya petani padi tak sempat menikmati kenaikan harga itu. Padahal merekalah yang selama ini menjadi mayoritas warga yang paling sengsara.
SUMPAH PEMUDA yang diikrarkan para tokoh pemuda pada 28 Oktober 1928 ialah peristiwa penting dalam proses pembentukan bangsa dan negara kita. Sebab ketika apa yang disebut Indonesia masih sebatas imajinasi penduduk tanah jajahan Hindia-Belanda, para pemuda justru telah menyadari bahwa cita-cita membentuk bangsa dan negara Indonesia di atas kepulauan Nusantara adalah sesuatu yang sangat mungkin.
“Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat...Kita hendak mendirikan negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan.. Maka, yang selalu mendengung di dalam jiwa saya, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia”
ADALAH suatu realitas obyektif bahwa sejak lama bangsa kita adalah bangsa yang sangat majemuk atau plural. Tidak saja dari segi suku bangsa, ras, atau adat istiadat, tapi juga agama dan keyakinannya. Suku Jawa saja, yang acap dilihat sebagai satu suku yang homogen, faktanya amat plural. Dari suku Jawa yang mukim di Jawa Tengah, misalnya, terbagi atas beberapa subsubkultur yang beragam. Misalnya subkultur Solo, subkultur Yogyakarta, subkultur Banyumasan, dan subkultur Samin di pantai utara Jawa. Orang-orang Jawa Tengah di wilayah Solo dan Yogya belum tentu memahami bahasa Jawa ngapak-ngapak yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat Jawa Banyumasan. Coba buat Anda yang berasal dari Solo atau Yogya, tebak arti kata ini: inyong kencot wetenge. Belum tentu tahu, bukan? Ini belum termasuk orang Jawa yang mukim di Jawa Timur. Antara orang Surabaya dan Malang saja sudah memiliki dialek atau bahkan tradisi yang berbeda.
“Sebagai manusia, petani juga mempunyai harapan dan mempunyai pula rasa gembira dan rasa kecewa. Kaum tani harus yakin bahwa dia bekerja untuk masa depannya.”
[Soekarno, Tahun Vivere Pericoloso, 1964].
Oleh: Aria Bima
Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan
MENJADI petani, terutama petani padi, rasanya makin sulit. Ketika harga padi atau beras naik sedikit saja, pemerintah melalui Departemen Perdagangan dan Bulog buru-buru membanjiri pasar dengan beras murah, yang sebagian besar berasal dari beras impor. Tapi, saat panen raya tiba dan harga anjlok, pemerintah dan Bulog tak sigap menyerap produksi petani. Petani yang posisi tawarnya lemah harus menghadapi sendiri para tengkulak bermodal kuat.
Niat pemerintah membantu petani dengan menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) pada masa panen raya pun tak banyak membantu. Pasalnya, seperti kita lihat tahun ini, HPP justru di bawah harga pasar.
DPR telah menjadwalkan sidang interpelasi kasus lumpur Lapindo pada 17 Juli 2007. Karena itu mungkin publik bertanya: kenapa DPR bersikukuh menginterpelasi pemerintah terkait lumpur Lapindo? Bukankah Presiden baru saja berkunjung ke Sidoarjo?
Jawaban atas hal ini bisa beragam. Tapi, yang jelas, DPR memandang kasus lumpur Lapindo sebagai masalah penderitaan rakyat. Bahkan, penderitaan itu sudah setahun lebih. Bayangkan: hidup di pengungsian dengan tiada kepastian masa depan, fasilitas serba minim, dan lama, bukan perkara mudah. Mata pencaharian hilang, harta benda musnah, ancaman gangguan kesehatan massal –demam berdarah, diare, penyakit saluran pernapasan, atau stres dan sakit jiwa— senantiasa menghantui keluarga yang terlalu lama hidup di pengungsian.
“Jangan ada seorang Indonesia pun yang menghendaki
satu masyarakat yang berdasarkan sistem penindasan,
penghisapan, eksploitasi manusia atas manusia.”
* [Soekarno, Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1958]
Oleh: Aria Bima Anggota DPR Fraksi PDI-Perjuangan
KESEPAKATAN perdagangan bebas (free trade agreement) yang secara berangsur diteken pemerintah RI, sejak Orde Baru hingga pemerintahan Presiden SBY, memiliki dampak signifikan bagi nasib buruh negara berkembang seperti Indonesia. Sebab perdagangan bebas bukan saja berimplikasi pergerakan modal dan barang lintas negara, tapi juga pergerakan manusia –dalam hal ini tenaga kerja— antarnegara (borderless labour).
Selamat datang di blog saya. Semoga apa yang tertulis di sini bermanfaat bagi para pembaca. Silakan bagi Anda yang ingin memperbanyak isi blog ini, dengan catatan menyebutkan sumbernya. Terima kasih. Merdeka!
Selama 5 tahun (2004-2009) saya mendapat amanah sebagai wakil rakyat di DPR dari Fraksi PDI Perjuangan. Saya mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah V yang meliputi Kota Surakarta (Solo), Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten. Dan pada Pemilu 2009, saya kembali mendapat kepercayaan dari masyarakat di Dapil Jateng V untuk menjadi wakil rakyat di DPR RI periode 2010-2014. Sekarang saya juga mendapatkan amanah sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dan Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI Perjuangan Provinsi Jawa Tengah.