Nov 5, 2008

Urgensi Hak Angket BBM

Oleh:
Aria Bima
Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan,
Pengusul Hak Angket BBM






SESUAI pasal 20A UUD 1945 ayat (1), DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Untuk melaksanakan fungsinya ini, merujuk pasal yang sama ayat (2), DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Hal ini ditegaskan pula dalam Peraturan Tata Tertib DPR.





Kali ini DPR merasa perlu memakai hak angket, karena hak ini sifatnya investigatif: menggali keterangan para ahli dan semua pihak terkait dengan produksi, distribusi, dan konsumsi BBM. Dengan memakai hak angket, diharapkan ada konklusi yang lebih obyektif, bukan asal kritis. Karena orientasi angket menyelidiki dan mencari solusi. Jadi lebih mendalam dan komprehensif ketimbang interpelasi.  
Dalam konteks inilah relevansi hak angket BBM. Sebab yang ingin diketahui DPR bukan sebatas mendengar apologi pemerintah, tapi menguak lebih jauh ada apa sebenarnya di balik kebijakan minyak kita selama ini. Sebab sejauh ini terlalu banyak hal terkait BBM yang terkesan ditutup-tutupi. Tentang berapa biaya riil yang dikeluarkan Pertamina untuk mengolah minyak mentah per barel atau berapa sesungguhnya produksi dan konsumsi riil minyak kita, misalnya, tak ada yang tahu. Sementara total impor BBM dan produksi minyak kita secara teoretis melebihi total konsumsi. Kemana sisanya? Maka, kenaikan harga BBM hanyalah pintu masuk guna menguak misteri itu.
Selain itu, urgensi usul hak angket BBM terkait pula dengan kelirunya struktur berpikir pemerintah. Pemerintah melupakan amanat konstitusi bahwa salah satu tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 paragraf ke-4 ialah memajukan kesejahteraan umum. Tujuan ini diderivikasikan dalam pasal 27 UUD 1945 ayat (2) bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Juga pasal 28 H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Sementara pasal 33 UUD 1945 ayat (1) menyatakan: perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Dalam ayat ini tersirat maksud para pendiri negara bahwa perekonomian Indonesia tidak diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Sebab mekanisme pasar tak menjamin tegaknya keadilan, terutama keadilan distributif, bagi lapisan rakyat yang termiskin dan terpinggirkan. Di sinilah perlunya negara ikut campur secara langsung dalam perekonomian, antara lain berupa penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti amanat pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Demikian pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, seperti ditetapkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Terkait rujukan konstitusional itu, menjadi ironis saat rakyat kebanyakan ditimpa kesulitan hidup lantaran naiknya harga kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang, pemerintah tega menaikkan harga BBM rata-rata 28,7 persen per 24 Mei 2008. Patut diingat, kenaikan ini yang ke-3 kali sejak SBY menjabat presiden.
Sementara kelangkaan dan kenaikan komoditas pangan terjadi sejak 2007 hingga inflasi bahan pangan dua kali lipat inflasi umum dan kian menurunkan kesejahteraan rakyat miskin. Padahal nyaris 80% pendapatan warga miskin rata-rata habis untuk kebutuhan pangan. Harga-harga kebutuhan pokok kembali terkatrol begitu pemerintah menaikkan harga BBM. Karena itu, kebijakan menaikkan harga BBM sangat potensial makin menjauhkan negara dari tujuan memajukan kesejahteraan umum atau mengusahakan penghidupan layak bagi rakyat, serta menambah daftar panjang rakyat miskin yang kian membengkak selama era duet SBY-JK.



Konspirasi Anti-Angket
Meski bertujuan mulia demi menjalankan amanat konstitusi, akan tetapi dua kali upaya DPR melaksanakan fungsi pengawasannya dengan memakai instrumen hak angket ini –selama pemerintahan SBY-JK— selalu gagal atau digagalkan. Di satu sisi, ada aura ketakutan pemerintah bahwa angket maupun interpelasi bakal bermuara pada pemakzulan presiden. Hal ini, misalnya, dibuktikan dengan selalu tak hadirnya Presiden SBY jika DPR menggelar hajatan interpelasi.
Namun, di sisi lain, mayoritas anggota DPR dan pemerintah patut diduga telah dikooptasi oleh kekuatan-kekuatan asing dan investor perminyakan asing yang sangat takut jika pengelolaan migas atau BBM ini dibuat transparan lewat hak angket. Ketiga unsur ini kemudian, sengaja atau tidak, membentuk konspirasi yang bermuara pada selalu mandulnya usulan hak angket BBM. Makanya tak mengherankan, tiga kali muncul usulan hak angket DPR tentang kenaikan harga BBM, tiga kali pula konspirasi tersebut berupaya menggagalkannya.
Angket BBM pertama terjadi 22 Maret 2005, menyusul kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 29% (28 Februari 2005). Angket BBM kedua pada 24 Januari 2006, setelah BBM kembali dinaikkan pemerintah sebesar 128% (1 Oktober 2005). Terakhir pemerintah menaikkan lagi harga BBM sebesar 28,7% (24 Mei 2008) yang diikuti usul hak angket DPR pada 3 Juni 2008. Menurut rencana, besok pagi sidang paripurna DPR baru akan mengambil keputusan apakah usul hak angket terakhir ini akan diteruskan menjadi pelaksanaan hak angket ataukah tidak.
Dan tampaknya usaha menggalang upaya penggagalan usul hak angket BBM ini terus dilakukan pemerintah dan konspiratornya di lembaga parlemen. Padahal sebenarnya pemerintah tak perlu takut dengan pelaksanaan hak angket BBM ini. Justru sebaliknya, pemerintah harusnya berterimakasih kepada DPR. Sebab dengan pelaksanaan hak angket BBM ini nanti, maka pengelolaan migas negeri kita yang selama ini diselubungi misteri dan tidak ada transparansi akan dapat dibuka secara gamblang kepada publik. Toh pemerintah sendiri selama ini gagal mendobrak ketidaktransparanan pengelolaan minyak tersebut. Sementara ketidaktransparanan pengelolan migas ini juga digarisbawahi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagaimana telah disampaikan kepada DPR tanggal 3 Juni 2008.
Dalam sambutannya ketika menyampaikan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) tahun 2007 ini, Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan, “Penerimaan migas tidak transparan dan tidak disetor langsung ke kas negara sesuai mekanisme APBN. Penerimaan migas tersebut dicatat terlebih dahulu pada rekening di luar rekening kas negara. Sebagian daripadanya kemudian disetorkan ke kas negara sesuai dengan target APBN dan sebagian lainnya digunakan langsung untuk pengeluaran-pengeluaran yang tidak dipertanggungjawabkan dalam APBN.”
Jadi, jika ketakutan masih saja menguasai benak Presiden SBY, maka patut diduga bahwa SBY memang tidak mampu bersikap tegas terhadap kepentingan negara asing dan perusahaan-perusahaan multinasional asing. Inilah yang akhirnya mengakibatkan pemerintah terkesan seolah-olah memiliki agenda membungkam fungsi pengawasan DPR. Dengan kata lain, pemerintah seolah-olah sengaja menjadikan lembaga DPR tukang stempel atau pelegitimasi kebijakan-kebijakannya belaka seperti pernah puluhan tahun dilakukan rezim Orde Baru.
Jika ini yang masih saja bakal terjadi, kini semuanya kembali kepada rakyat, media massa, dan LSM untuk terus melakukan pengawasan atas sikap dan kinerja pemerintah. Terutama media massa –sebagai pilar keempat sistem demokrasi— harus terpanggil ke depan untuk membongkar mafia serakah di balik kongkalikong bisnis perminyakan Indonesia. Ini penting tatkala lembaga DPR dengan sengaja dibikin impoten oleh pemerintah dan kekuatan-kekuatan konspirator di belakangnya.[]   *Dimuat Koran Tempo, 27 Juni 2008.



No comments: