Jun 9, 2009

Perjanjian Perdagangan Bebas dan Implikasinya bagi Buruh Indonesia (Menyambut Hari Buruh 1 Mei)



“Jangan ada seorang Indonesia pun yang menghendaki
satu masyarakat
yang berdasarkan sistem penindasan,
penghisapan, eksploitasi manusia atas manusia.”
*
[Soekarno, Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1958]




Oleh:
Aria Bima
Anggota DPR Fraksi PDI-Perjuangan


KESEPAKATAN perdagangan bebas (free trade agreement) yang secara berangsur diteken pemerintah RI, sejak Orde Baru hingga pemerintahan Presiden SBY, memiliki dampak signifikan bagi nasib buruh negara berkembang seperti Indonesia. Sebab perdagangan bebas bukan saja berimplikasi pergerakan modal dan barang lintas negara, tapi juga pergerakan manusia –dalam hal ini tenaga kerja— antarnegara (borderless labour).

Secara teoretis, kesepakatan perdagangan bebas itu membuka peluang buruh Indonesia untuk leluasa mengais rezeki di luar negeri. Sebab, kesepakatan itu harusnya juga meniadakan hambatan arus buruh antarnegara. Artinya, buruh kita bebas mencari kerja ke negara-negara yang memiliki upah buruh lebih tinggi, yakni di negara-negara industri maju.

Namun kesepakatan itu kenyataannya justru cenderung merugikan buruh kita. Kenapa? Sebab rezim perdagangan bebas didesain oleh WTO (World Trade Organization) dan negara-negara maju beserta kaum kapitalisnya, untuk melonggarkan arus modal, barang, dan jasa antarnegara, tapi tidak termasuk arus buruh lintas negara.

Walhasil, kesepakatan perdagangan bebas membuat modal negara maju bebas masuk (atau keluar) dan mengeksploitasi buruh murah di negara berkembang. Sementara buruh negara berkembang tak bebas masuk bursa kerja di negara maju karena sistem negara maju yang tertutup dan protektif.

Dengan demikian, negara-negara maju yang giat mengompori rezim perdagangan bebas sejatinya secara curang telah memproteksi buruhnya. Dengan beragam cara, mereka berusaha mengerem imigrasi kaum penganggur atau buruh murah dari negara lain.
Maka, apa yang disebut “perdagangan bebas” sebetulnya bukanlah konsep yang bebas nilai (value free) murni. Melainkan konsep yang sarat muatan ideologi neoliberal dan kapitalis internasional (multi national corporation/MNC).

Karena itu, kesepakatan perdagangan bebas justru mengancam posisi buruh Indonesia di negerinya sendiri. Ini disebabkan beberapa faktor.

Pertama, pendidikan dan keterampilan buruh Indonesia umumnya masih kalah dari buruh negara maju. Termasuk tenaga kerja profesional seperti manajer, dokter, dosen, akan menghadapi persaingan dengan tenaga sejenis dari luar negeri, jika perdagangan bebas juga meliputi aspek tenaga kerja.


Kedua, pekerja lokal akan cenderung menerima perlakuan diskriminatif, baik dalam promosi, gaji, maupun pemberian fasilitas lainnya, dibandingkan dengan buruh atau tenaga kerja asing. Dengan posisi dan pekerjaan sama, pekerja lokal acap mendapat gaji dan tunjangan lebih kecil dibanding pekerja asing. Ini tentu merugikan posisi buruh dalam negeri jika pintu “impor buruh” dibiarkan terbuka dan bebas.


Ketiga, kesepakatan perdagangan bebas merupakan legalisasi program ekonomi neoliberal yang didesain untuk menguntungkan posisi negara maju atau para pemodal besar mereka (MNC). Akibatnya, kesepakatan ini juga cenderung memperlakukan pekerja sebagai komoditas belaka. Implikasinya, buruh sekadar dibayar sesuai kebutuhan hidup minimum dan bisa dipekerjakan secara kontrak ataupun diperjualbelikan antarperusahaan dalam wujud subkontrak atau alih-daya (outsourcing).

Nasib buruh kontrak ini sangat memprihatinkan. Karena mereka menjadi kehilangan hak-hak dasarnya seperti cuti haid, cuti hamil, tunjangan kesehatan, tunjangan hari raya, pesangon, kepastian bekerja, dan sebagainya. Mereka juga tidak memiliki kebebasan berorganisasi dan mengekspresikan aspirasinya dengan unjuk rasa atau mogok. Sebab, ketika mereka diketahui bergabung dengan organisasi buruh, apalagi ikut unjuk rasa atau mogok, mereka tak akan diperpanjang kontraknya dan kehilangan pekerjaan tanpa pesangon.

Implikasi lainnya, para penguasa di negara-negara berkembang yang surplus tenaga kerja akan berlomba menyediakan buruh murah dan menyediakan regulasi yang menekan hak buruh sebagai strategi menarik investasi asing. Inilah kebijakan yang disebut labour market flexibility (LMF) atau kebijakan tenaga kerja fleksibel. Ini, misalnya, terlihat dari paket rencana revisi UU Ketenagakerjaan No.13/2003 oleh pemerintah SBY-JK yang bakal sangat merugikan buruh dan ditentang para buruh belum lama ini.


Mengapa dalam sistem neoliberal atau perdagangan bebas, negara cenderung menekan buruh? Hal ini karena bila di suatu negara berkembang upah buruhnya tinggi dan regulasinya pro-buruh, maka para investor akan merelokasi pabriknya ke negara yang berupah buruh murah dan otomatis juga lebih menjanjikan keuntungan melimpah. Di sini, akibatnya PHK massal pun terjadi. Sekadar contoh PHK dan penutupan pabrik elektronik Sony, pabrik sepatu Reebok, dan pabrik pisau cukur Gillette di Indonesia pada 2005.


Solusi

Sekarang ini, suka atau tidak, faktanya Indonesia telah mengikatkan diri dalam sistem perdagangan bebas, baik lewat perjanjian bilateral, regional, maupun multilateral. Misalnya melalui forum AFTA (Asean Free Trade Agreement) yang mulai efektif berlaku pada 2015, BFTA (Bilateral Free Trade Agreement dengan Cina dalam kerangka Kesepakatan Perdagangan Bebas Asean-Cina), maupun APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) –yang malah disepakati akan mulai berlaku tahun 2020 untuk negara berkembang.

Maka dari itu, karena rasanya sulit untuk membalik arah jarum jam dengan mengisolasi diri dari tren perdagangan bebas tersebut, yang bisa dilakukan Indonesia saat ini ialah meminimalisasi dampak negatif rezim perdagangan bebas terhadap buruhnya.

Kebijakan yang bisa ditempuh pemerintah dan DPR atau bisa diperjuangkan kaum buruh untuk itu, antara lain, pertama, mengusahakan aspek perlindungan buruh (sesuai pasal 33 UUD 45) masuk dalam forum negosiasi perdagangan bebas yang akan datang. Misalnya, ihwal larangan diskriminatisi terhadap buruh dalam negeri dan penghormatan atas hak-hak dasar buruh seperti berorganisasi dan mogok.

Kedua, menyediakan regulasi yang melindungi buruh dalam negeri dari kemungkinan ekspansi buruh murah maupun tenaga kerja terampil luar negeri.

Ketiga, meniadakan sistem kontrak dan subkontrak atau alih-daya (outsourcing) dari ketentuan perundangan (UU No.13/2003 tentant Ketenagakerjaan). UU ini sebenarnya telah membatasi bahwa sistem outsourcing hanya dibolehkan untuk kerja borongan dan sementara sifatnya, serta tidak boleh pekerjaan yang termasuk bisnis utama (core business) perusahaan. Namun prakteknya, ketentuan outsourcing lebih banyak disalahgunakan pengusaha untuk mengalihkan status karyawan tetapnya menjadi buruh kontrak. Sementara pemerintahan SBY tidak mengambil tindakan apapun terhadap pengusaha yang melanggar UU tersebut. Karena itu lebih baik sistem outsourcing dihapuskan saja dari UU Ketenagakerjaan.

Keempat, menyediakan fasilitas latihan kerja yang berkualitas untuk meningkatkan kompetensi dan etos kerja buruh lokal agar siap bersaing secara global bila skenario terburuk –berupa arus bebas tenaga kerja antarnegara— tak bisa dihindari. []


Catatan:
Tulisan
disampaikan dalam seminar perburuhan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta, 2007.

No comments: