Jun 10, 2009

Negara dan Krisis Pemimpin dan Kepemimpinan



Oleh: Aria Bima
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan


KRISIS multidimensi yang menerpa negara kita sejak akhir dekade 1990-an di satu sisi memang membawa angin segar demokratisasi di negeri ini. Sehingga tak ayal, Indonesia kini tercatat sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah AS dan India. Akan tetapi, di sisi lain, krisis tersebut juga membuka kotak pandora kesadaran kita, bahwa banyak hal keliru yang telah dilansir rezim Orde Baru selama 32 tahun kekuasaannya.  




Jadi, bukan saja kekeliruan menyangkut pembangunan ekonomi yang bertumpu pada sistem kapitalisme kroni –yang hanya menguntungkan segelintir kecil sanak keluarga dan teman dekat penguasa, sementara menyengsarakan ratusan juta warga bangsa hingga hari ini. Dalam aspek sumber daya manusia pun, khususnya dalam rangka kaderisasi pemimpin bangsa, tampaknya Orde Baru juga mewariskan masalah. Yakni, berupa krisis pemimpin dan kepemimpinan, seperti yang kita rasakan akibatnya sampai hari ini. Dan, inilah krisis yang dampaknya paling fatal, sebab negara dan masyarakat sekarang ini seperti berjalan tanpa pemimpin, lembaga-lembaga negara menjadi institusi lemah, dan situasi sosial carut-marut seolah tiada lagi ketertiban dan otoritas yang bisa dijadikan panutan.


Krisis yang Merata
Krisis pemimpin dan kepemimpinan ini merata, nyaris menyentuh hampir semua lembaga negara, bahkan juga lembaga-lembaga masyarakat yang relatif otonom terhadap negara. Jadi tidak hanya menyangkut lembaga kepresidenan. Indikasinya, kita kesulitan menemukan sosok pemimpin yang berkarakter ideal: efektif, dapat dipercaya, dan bisa menjadi sosok yang patut diteladani. Ada pemimpin lembaga pemantau korupsi yang justru korup, ada pemimpin lembaga penyedia pangan yang justru menilep makanan rakyat, ada pemimpin agama yang justru menginjak-injak nilai-nilai luhur agama, ada pemimpin kepolisian yang justru ditangkap lantaran menjadi bandar narkoba, dan sebagainya.  

Dengan kata lain, nyaris semua pemimpin di semua lini hanya mengedepankan cara berpikir rasional subyektif atau rasional instrumental. Dikatakan demikian, karena rata-rata mereka hanya mengedepankan kepentingan pribadinya atau sekadar menjadi alat dari hasrat subyektifnya sendiri, keluarga, atau kelompoknya.

Padahal, sosok pemimpin mestinya mengedepankan kepentingan mereka yang dipimpin; berwatak altruistik, dengan menempatkan kepentingan diri, keluarga, atau kelompoknya di bawah kepentingan publik yang lebih luas. Pemimpin harusnya bukan berdiri di atas rakyat atau sejajar dengan rakyat, tetapi mestinya mengabdikan diri di bawah kepentingan rakyat.

Mengapa bisa demikian? Inilah salah satu dampak kekuasaan panjang rezim Orde Baru yang telah memberangus iklim yang kondusif bagi munculnya pemimpin dengan karakter yang ideal. Seperti kita tahu, rezim modernisasi atau pembangunan ekonomi yang amat materialistis dan bertumpu pada aspek pertumbuhan semata, telah menciptakan lahirnya generasi bangsa yang individualistis, hedonistis, pragmatis, materialistis, dan egoistis. Nilai-nilai sesaat seperti kesuksesan karir pribadi, kekayaan pribadi, menjadi amat penting bagi generasi ini. Bahkan, tak jarang tujuan dapat menghalalkan cara demi mencapai kesuksesan atau kekayaan pribadi tersebut.

Akibatnya, posisi pemimpin atau jabatan publik pun kerap diincar sekadar sebagai batu loncatan untuk kaya dan berkuasa. Walhasil, lembaga-lembaga negara atau publik yang potensial dijadikan lahan korupsi justru dianggap sebagai “lahan basah” yang diperebutkan banyak orang. Sosok pemimpin amanah dan sederhana seperti Jenderal Sudirman, Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Natsir, atau Tan Malaka, menjadi makhluk yang amat langka di negeri kita sekarang ini. Kekayaan dan kemewahan serta keserakahan seolah menjadi seragam wajib bagi para pemimpin masa kini. Sementara pada saat yang sama, rakyat seolah sah-sah saja dibiarkan menjadi makhluk yang sengsara dan melarat sepanjang masa.

Kondisi itu diperparah kebijakan depolitisasi sekolah dan kampus yang diintroduksi rezim Orba. Organisasi massa pelajar dan mahasiswa dilarang masuk sekolah dan kampus. Pelajar dan mahasiswa, yang tak lain adalah calon pemimpin bangsa di masa depan, dijauhkan dari tradisi memikirkan urusan-urusan rakyat dan negara. Mirip politik etis Hindia-Belanda, rezim Orba mengkondisikan para pelajar dan mahasiswa sekadar sebagai calon pekerja industri atau pegawai kantoran. 

Sementara tokoh-tokoh mahasiswa yang kritis dan berkarakter baik justru dibui atau dieliminasi dari kampus. Yang diberi peluang oleh penguasa hanya mereka yang berkarakter oportunis, ABS (Asal Bapak Senang). Mereka ditampung dalam wadah korporatis yang difasilitasi dan dikontrol penguasa. Mereka sekadar menjadi abdi penguasa atau pemodal, dan bukan abdi rakyat.  

Akibatnya, sejak Soeharto tumbang hingga hari ini, kita mengalami krisis pemimpin dan kepemimpinan. Hanya segelintir orang yang mampu tampil ke depan sebagai pemimpin. Ironisnya, dari yang segelintir itu pun nyaris semuanya tidak memiliki etos kepemimpinan yang kuat dan berkarakter. Yang ada adalah tipe pemimpin lemah, peragu, penakut, tak berani mengambil keputusan tegas dan cepat, tak berani menanggung risiko. Inilah tipe pemimpin produk era ABS, yang rajin “minta petunjuk” atasan semasa Soeharto. Sosok pemimpin yang sejatinya bukan pemimpin, karena tak mampu memberikan kepemimpinan yang inspiratif dalam memotivasi rakyat untuk bersatu dan bangkit melawan keterpurukannya.

Ironisnya, sistem ekonomi neoliberal yang –diakui atau tidak— dianut pemerintah SBY-JK sekarang ini justru kian memperparah iklim yang tidak kondusif bagi munculnya pemimpin yang ideal tersebut. Perguruan tinggi negeri diubah menjadi semacam pabrik sarjana dalam bentuk Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum Pendidikan (BHMN/BHP). Akibatnya kuliah di PTN yang semula menjadi pilihan murah bagi rakyat, menjadi sangat mahal dan hanya terjangkau kelas menengah ke atas. Karena biayanya amat mahal, mahasiswa pun terdorong cepat-cepat lulus dengan mengikuti semester pendek. Mereka enggan melibatkan diri ke dalam aktivitas nonakademis seperti organisasi ekstra kampus atau kelompok diskusi. Padahal kegiatan ini sangat penting sebagai ajang intelectual exercise mereka sebagai calon pemimpin bangsa. Mereka hanya berlomba agar segera menjadi sarjana yang siap masuk pasar kerja alias menjadi tukang-tukang yang bertitel, tetapi bukan calon-calon pemimpin yang berkarakter.

Ciptakan Iklim Kondusif
Guna mengatasi krisis pemimpin dan kepemimpinan tersebut, saatnya sekarang ini semua pihak yang peduli harus berani melawan arus dengan menyerukan gerakan hidup sederhana, lurus, dan mandiri. Menolak gaya hidup hedonis, materialistis, dan individualistis ala neoliberal. Kemudian juga mentradisikan gaya hidup tanpa korupsi sejak dini.

Sekolah dan kampus pun harus dibuat kondusif bagi ajang persemaian calon-calon pemimpin bangsa, bukan sekadar pabrik pelajar atau sarjana. Kebijakan NKK/BKK yang secara formal sudah dihapus pada awal reformasi, harus diikuti dengan mengizinkan kembali organisasi-organisasi ekstra mahasiswa berkiprah di kampus-kampus. Begitu pula organisasi massa pelajar mesti diizinkan kembali masuk sekolah. Sekolah dan kampus harus menjadi semacam miniatur negara dan masyarakat, tempat para pelajar dan mahasiswa melatih dirinya menjadi calon pemimpin bangsa dan negara.

Sejalan dengan itu, kita pun harus menyebarkan gaya berpikir yang bersifat rasional substansial dan meninggalkan pola pikir rasional instrumental. Artinya, seluruh lapisan masyarakat –apalagi kaum muda dan mahasiswa yang merupakan calon pemimpin masa depan— harus diajak untuk tak hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri (individualistis), tetapi harus dibiasakan memikirkan kepentingan bersama yang lebih luas (altruistis).

Dengan demikian, diharapkan, bila mereka kelak menjadi pemimpin pun akan senantiasa amanah, dengan menjunjung tinggi kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok. Mereka harus menjadi juru bicara rakyat dan bangsanya. Menjadi –meminjam istilah Ali Syariati— semacam nabi yang mampu membuka mata dan menunjukkan arah bagi rakyat dan bangsanya untuk bangkit melawan segala keterpurukan! Menjadi pemimpin yang secara efektif dapat menggerakkan rakyat mengejar tujuan-tujuan ideal yang substansial.

Tidak seperti saat ini, secara formal memang banyak orang memiliki posisi pemimpin, tapi kebanyakan menjadi peragu dan takut mengambil risiko dalam memutuskan kebijakan. Atau, justru membuat kebijakan demi kepentingan pribadinya sendiri, guna memupuk kekuasaan atau kekayaan. Mereka menjadi pemimpin hanya lantaran mendapat SK alias surat keputusan. Bukan pemimpin yang lahir karena memang dibutuhkan rakyat atau mampu memimpin rakyat. Akibatnya, seperti kita lihat saat ini, hampir tidak ada pemimpin yang dapat dijadikan panutan. Dan, seiring dengan itu, juga nyaris tiada kepemimpinan yang bisa menjadi acuan ihwal bagaimana bangsa ini harus melangkah ke depan. Hasil akhirnya, rakyat pun seperti anak ayam kehilangan induk. []

Catatan: makalah disampaikan dalam acara temu kader Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) tingkat nasional di Yogyakarta (2008).



No comments: