Jun 10, 2009

Komersialisasi Pendidikan dan Marjinalisasi Rakyat Miskin




Oleh: Aria Bima*
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan





SECARA Historis, bangsa Indonesia, apalagi yang berasal dari kalangan penduduk bumiputera atau pribumi, diperlakukan dengan sangat diskriminatif oleh kaum penjajah. Diskriminasi itu menyentuh segala aspek, tak hanya aspek ekonomi dan politik, tapi juga dalam lapangan pendidikan. Sementara warga keturunan Belanda, Eropa, atau Timur Asing boleh mengenyam pendidikan secara leluasa, tidak demikian halnya dengan bangsa







Baru setelah muncul desakan dari kaum moralis di negeri Belanda untuk memperlakukan rakyat Indonesia secara lebih baik, Belanda terpaksa mengeluarkan kebijakan politik etis atau politik balas budi, yang salah satunya berupa penyelenggaraan pendidikan bagi kaum bumiputera. Namun pendidikan pada era politik etis ini pun masih sangat diskriminatif dan terbatas. Sebab hanya mereka yang berasal dari keluarga bangsawan dan pejabat pemerintah jajahan (ambtenaar) atau memiliki posisi sosial tinggi, yang diizinkan menempuh pendidikan secara layak. Di HBS Surabaya, tempat Soekarno menempuh pendidikan menengah, misalnya, hanya ada 20 murid bumiputera di antara 300 siswa Eropa (lihat Cindy Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cetakan ke-7, 2001).
Pendidikan ala politik etis itu pun ujung-ujungnya hanya demi keuntungan kaum penjajah Belanda sendiri. Kenapa? Sebab pendidikan tersebut sekadar bertujuan untuk menyediakan buruh murah yang mampu baca-tulis bagi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing, atau pegawai rendahan pemerintah jajahan. Sementara itu, mayoritas rakyat Indonesia dibiarkan tetap buta huruf dan bergelimang kebodohan. Tidak ada pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah yang memiliki tujuan untuk memberdayakan rakyat Indonesia. Terlebih pendidikan yang mampu menanamkan kesadaran berbangsa dan bernegara, atau menurut istilah Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara: pendidikan yang memerdekakan.
Karena itu sangat logis ketika kemerdekaan RI diproklamasikan, para pendiri negara menetapkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan mulia itu secara jelas dan tegas tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 paragraf ke-4. Karena Pembukaan UUD 1945 ini menjadi dasar filosofis berdirinya NKRI yang sifatnya tak dapat diubah, maka dengan sendirinya tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa pun bersifat abadi.
Sebagai konsekuensi dari tujuan negara untuk mencerdaskan bangsa ini, maka setiap warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan (pasal 31 UUD 45). Bahkan, dalam tingkat pendidikan dasar, UUD 45 hasil amandemen mewajibkan setiap warga negara untuk mengikuti pendidikan. Sebaliknya, pemerintah diwajibkan membiayai pendidikan dasar itu, disamping wajib menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional dalam rangka mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa tadi. Kewajiban negara menyelenggarakan pendidikan nasional tersebut, dipertegas lagi oleh UUD 45 pasal 31 ayat (4) yang memerintahkan tiap penyelenggara negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.
Akan tetapi sejauh mana amanat konstitusi tersebut telah dilaksanakan oleh pemerintah saat ini?



Komersialisasi Pendidikan



Dalam pelbagai kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan bahwa pemerintah berniat menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang murah dan berkualitas, sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi, jika kita konfirmasi janji tersebut dengan kenyataan, yang terjadi adalah tidak satunya ucapan dengan tindakan. Janji tinggal janji, sedangkan realitas yang muncul justru semakin memprihatinkan. Sebab beragam kebijakan pemerintah justru kian menjerumuskan diri ke dalam apa yang bisa kita sebut kebijakan komersialisasi pendidikan. Bukannya menyelenggarakan sistem pendidikan yang pro-rakyat (murah dan bermutu), pemerintah justru semakin tergiur mengimplementasikan konsensus WashingtonNeoliberalisme, 2000). atau kebijakan neoliberal ke dalam pendidikan. (Ihwal neoliberalisme misalnya baca I. Wibowo dan Francis Wahono,
Adapun indikasinya antara lain:
Pertama, pemerintah melalui Undang-undang Penanaman Modal (UUPM) –yang ditolak Fraksi PDI Perjuangan DPR dengan jalan walk out— memperlakukan sektor pendidikan sebagai terbuka untuk investasi asing. Dengan kata lain, pemerintah menempatkan pendidikan sebagai sektor yang bersifat profit oriented seperti halnya sektor pariwisata atau perdagangan. Karena harus menghasilkan keuntungan dan membuka diri terhadap persaingan bebas dengan investor dari luar negeri, maka dilakukan privatisasi atas lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini. Walhasil, subsidi pun semakin dienyahkan dari sektor pendidikan di Tanah Air. Akibatnya terjadilah komersialisasi pendidikan.
Inilah sebetulnya hidden agenda di balik kebijakan menjadikan sejumlah perguruan tinggi negeri terkemuka, seperti UGM, UI, ITB, dan Unair sebagai badan hukum milik negara (BHMN) yang bersifat otonom. Dampaknya, biaya kuliah yang harus ditanggung mahasiswa di kampus-kampus PTN ini pun melejit, melebihi biaya kuliah di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) terkemuka. Biaya kuliah yang semula hanya ratusan ribu rupiah menjadi jutaan, puluhan juta, bahkan ratusan juta untuk beberapa fakultas favorit seperti kedokteran. Ini akibat sebagian biaya pendidikan tinggi negeri yang semula ditanggung negara dialihkan nyaris semuanya ke pundak mahasiswa atau orangtua mahasiswa. Dengan demikian sama saja dengan: negara atau pemerintah secara sengaja mengalihkan tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan pendidikan ke pundak rakyat!
Implikasinya, rakyat miskin seperti buruh tani, pedagang kecil, kuli bangunan, tukang becak, atau buruh pabrik –yang merupakan mayoritas warga negara kita— yang sebelumnya memiliki akses untuk menguliahkan anak-anaknya secara murah melalui PTN, menjadi terpinggirkan. Mobilitas vertikal bagi anak-anak muda miskin namun cerdas dan berbakat dari seluruh pelosok negeri menjadi tersumbat. Orang miskin kian terjerat kendala struktural untuk membebaskan dirinya dari kemiskinan dan kebodohan melalui jalur pendidikan formal. Pendidikan yang harusnya didesain sebagai upaya pencerdasan bangsa pun kembali bersifat sangat diskriminatif: hanya mereka yang kaya yang bisa kuliah!
Karena ujicoba BHMN dinilai berhasil, privatisasi lembaga-lembaga pendidikan publik tersebut bakal dilanjutkan untuk seluruh perguruan tinggi negeri dan atau sekolah-sekolah negeri di seluruh Indonesia, sebagaimana sekarang tengah di bahas melalui draf RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang diusulkan pemerintahan SBY-JK.
Kedua, betapapun konstitusi telah menetapkan pemerintah harus mengalokasikan 20% dari total anggaran untuk pendidikan, tetapi rezim neolib SBY-Jusuf Kalla (JK) tetap saja keras kepala dengan menyediakan anggaran pendidikan hanya 12% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terakhir (2008). Alasannya, pemerintah belum mampu menyediakan dananya: sebuah argumen yang hanya mengada-ada. Kenapa? Sebab, banyak pos anggaran di luar pendidikan hanya berdaya serap rendah: memiliki sisa anggaran atau anggaran berlebih tiap tahunnya. Selain itu, banyak dana menganggur milik bank pemerintah disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sehingga tidak produktif dan berakibat negara tiap bulan harus membayar bunganya. Sementara lebih 50% anggaran negara, juga anggaran daerah, tiap tahunnya dihambur-hamburkan untuk biaya rutin pemerintah dan lembaga negara serta aktivitas pejabat, dan hanya sebagian kecil dialokasikan bagi kepentingan belanja publik seperti mendanai pendidikan.
Karena itu, tak mengherankan jika menurut penelitian lembaga independen FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), dari RAPBN 2007 sekitar 70%-nya (Rp 457-534 triliun dari total Rp 763 triliun) habis untuk biaya birokrasi pemerintah, legislatif dan aparat hukum. Dari total anggaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Rp 51,3 triliun, hanya 15% (Rp 7,5 triliun) yang dialokasikan untuk rehabilitasi sekolah, beasiswa, dan perpustakaan. Sisanya sebesar 85% habis digunakan untuk biaya rutin birokrasi. (Kompas, 14/1/2008). Maka tak aneh jika kualitas pendidikan masih sangat memprihatinkan. Sementara banyak sekolah nyaris roboh dibiarkan terbengkalai. Data Depdiknas tahun 2006/2007, misalnya, memperlihatkan terdapat 475.986 ruangan kelas rusak ringan dan berat.
Dari uraian di atas, sebenarnya yang kita hadapi bukan ketidakmampuan pemerintah menyediakan anggaran 20%, tapi lebih tepat jika dikatakan: Pemerintah tidak memiliki kemauan politik (political will) untuk merealisasikan anggaran pendidikan 20% tersebut. Ini tentu ada hubungannya dengan pola pikir neolib yang memenuhi benak para perancang anggaran di jajaran tim ekonomi kabinet SBY-JK. Dalam perspektif neolib, pendidikan menjadi industri atau bersifat komersial seperti diterapkan di PTN BHMN seperti kita sebut tadi, sehingga diharapkan PTN dapat menghasilkan keuntungan dan bukan malah menyerap banyak jatah anggaran atau subsidi dari negara.
Jika pemerintah dan pemerintah daerah mau menanggalkan pola pikir neoliberalnya, dan bersedia berhemat dengan memangkas pengeluaran yang tak perlu –seperti pembelian mobil dinas pejabat yang baru, kunjungan pimpinan eksekutif maupun legislatif ke luar negeri, tunjangan pulsa telepon seluler pejabat, tunjangan pakaian dinas dan perawatan rumah dinas pejabat, dan sebagainya—, realisasi anggaran pendidikan 20% bukan hal mustahil. Apalagi jika pemerintah kemudian juga mendayagunakan dana-dana menganggur yang ditumpuk di BI dan merelokasi anggaran berlebih di pelbagai sektor ke sektor pendidikan, tampaknya realisasi anggaran pendidikan 20% tidak sekadar menjadi mimpi abadi SBY-JK belaka.
Namun karena duet pimpinan nasional kita saat ini adalah kombinasi tentara peragu dan pedagang yang terlalu penuh perhitungan untung-rugi, maka sulit memenuhi harapan bangsa ini untuk melakukan investasi jangka panjang berupa alokasi anggaran pendidikan sebesar 20%. Dan, lantaran di tingkat nasional, eksekutif dengan santainya berani melanggar konstitusi –sebuah alasan yang sejatinya bisa digunakan untuk memakzulkan mereka— terkait anggaran pendidikan 20% ini, wajar jika kemudian pemerintah-pemerintah daerah juga membebek pada kebijakan pusat tersebut.
Ketiga, tren agenda neolib yang sama tapi dengan wajah berbeda muncul dalam kasus pemaksaan Ujian Akhir Nasional (UAN) oleh pemerintah pusat. Siswa-siswa dari pedalaman Papua atau pulau-pulau terpencil dan daerah tertinggal, dipaksa bersaing secara bebas (laissez-faire) dengan para siswa kota-kota besar di Jawa dan Sumatera yang surplus fasilitas. Akibatnya bisa diduga, jelas saja kebijakan UAN hanya menguntungkan mereka yang kaya dan berkuasa, dan sekaligus menyingkirkan mereka yang miskin dan terbelakang. Sebuah kebijakan yang tak bisa disebut pro-rakyat atau pro-poor policy.
Implementasi UAN dengan spirit persaingan bebas (free-fight liberalism) yang mengadu siswa sekolah pedalaman yang miskin dan minim fasilitas dengan siswa perkotaan yang kaya dan serba berkecukupan— analog dengan agenda neoliberalisme yang membiarkan para mbok-mbok bakul di pasar tradisional (yang miskin, renta, dan lemah dalam akses modal dan kompetensi manajemen) bersaing secara bebas dengan raksasa perdagangan retail internasional Carrefour, Hypermart, dst yang amat padat modal, teknologi, dan piawai dalam kompetensi bisnis dan manajemen. Hasilnya sangat mudah ditebak: mereka yang lemah dan miskinlah yang bakal terjungkal atau tergusur.



Kembalikan Misi Luhur Pendidikan



Dalam situasi carut marut kebijakan pendidikan demikian, ada kewajiban moral bagi lembaga-lembaga pendidikan yang bernuansa keagamaan –yang mestinya jauh dari motif komersial belaka dalam penyelenggaraan pendidikannya— seperti Unika Soegijapranata Semarang ini, atau sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah, serta pondok-pondok pesantren NU, atau kalangan Tamansiswa, untuk bersama-sama mengembalikan ruh pendidikan kita kepada tujuan mulia: mencerdaskan kehidupan bangsa seperti diamanatkan para pendiri bangsa kita dalam Pembukaan UUD 1945.
Merujuk visi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan dalam konteks mencerdaskan bangsa harusnya ialah pendidikan yang memberdayakan atau memerdekaan, atau dalam istilah Romo Drijarkara sebagai pendidikan yang memanusiakan, atau istilah mahasiswa sekarang: pendidikan yang membebaskan. Pendidikan dalam pengertian ini mestinya jauh dari semangat komodifikasi pendidikan, yang hanya menjadikan sekolah atau perguruan tinggi sebagai komoditas, sarana mengejar keuntungan belaka.
Pendidikan dalam pengertian gerakan pencerdasan bangsa mestinya pendidikan yang memberdayakan segenap warga bangsa agar dapat secara optimal mengembangkan potensinya dan menyadari hak dan kewajibannya, sehingga mampu menjadi manusia yang cerdas, bertakwa, beradab, bermartabat, dan bermanfaat –tak hanya bagi dirinya sendiri tapi juga berguna bagi sesama. Dengan demikian, pendidikan tidak sekadar menyiapkan SDM yang terampil atau sesuai kebutuahn dunia kerja seperti pernah digagas politik etis penjajah Belanda dahulu. Pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa karena itu juga tidak cukup jika dipahami dalam konteks link and match seperti pernah dicuatkan Orde Baru. Pendidikan bukan sekadar berburu selembar ijazah atau gelar sarjana.
Karena itu, dalam momentum 100 tahun kebangkitan nasional sekarang ini, sangat tepat kita kembali menggugat, memikirkan ulang, dan bersama-sama merumuskan kembali kebijakan pendidikan bangsa kita. Dari sini diharapkan, kebijakan pendidikan nasional akhirnya bisa membawa kita kepada kebangkitan nasional untuk masa seabad berikutnya. Dan bukannya justru mendorong bangsa kita terjerembab ke dalam jurang kebangkrutan nasional, seperti makin dirasakan tendensinya oleh rakyat akhir-akhir ini. Semoga! []




* Makalah disampaikan untuk Seminar Kebijakan Pendidikan di Indonesia, dalam rangka Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, di Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, tanggal 22 Mei 2008.




No comments: