Jun 21, 2009

Urgensi Angket DPT Pemilu 2009



Oleh: Aria Bima
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan,
Pengusul Hak Angket DPT



Hiruk-pikuk pemilu 2009 usai sudah. Partai-partai politik pun lalu sibuk menyongsong ajang pemilihan presiden atau pilpres. Tapi, satu hal tak boleh dilupa: jutaan warga negara telah dirampas haknya untuk memilih pada pemilu 9 April 2009 Fakta inilah yang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru-baru ini telah diputuskan akan ditindaklanjuti melalui penggunaan hak angket DPR.



Keputusan DPR untuk menyelidiki dugaan penghilangan hak konstitusional jutaan warga negara dalam pemilu 2009 tersebut harus terus didukung. Sebab data ihwal manipulasi itu bukan tuduhan fiktif atau partisan belaka. Ini dibuktikan oleh hasil investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang independen. Hasil investigasi Komnas HAM menemukan fakta: antara 25-40 persen rakyat telah kehilangan hak pilihnya dalam pemilu kali ini. 

Jelas ini prestasi negatif Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terekam dari momen pemilu 2009. Maka, sekali lagi wajar jika tragedi penghilangan hak pilih jutaan rakyat ini mendorong DPR untuk menyelidiki atau menggunakan hak angketnya.

Bayangkan, bukan saja ratusan ribu, tapi jutaan orang gagal menyalurkan hak politiknya hanya gara-gara namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap. Padahal amburadulnya DPT ini bukan kesalahan rakyat, tapi akibat pemerintah teledor menyusun data penduduk pemilih potensial pemilu (DP4) yang cermat dan KPU gagal memutakhirkan data pemilih tetap alias DPT. Pemerintah tak bisa lepas tangan, sebab KPU menyusun DPT berdasar data pemilih potensial yang dipasok pemerintah. 


Tanda Tanya 
Masalahnya: mengapa sinyal dari beragam kelompok masyarakat agar KPU segera memutakhirkan DPT tidak segera direspon? Padahal, jauh-jauh sebelum pemilu, sudah kerap diingatkan bahwa data penduduk potensial pemilih (DP4) dari pemerintah yang dijadikan rujukan KPU untuk menyusun DPT sangat tidak akurat. Walhasil, tanpa pemutakhiran secara cermat, mustahil DPT yang dihasilkan bakal tinggi akurasinya.

Akan tetapi, KPU dan pemerintah seolah seia sekata. KPU dengan beragam argumen terus saja memakai data pemilih potensial yang diragukan akurasinya itu. Sementara pemerintah mengulur-ulur pencairan dana pemutakhiran tersebut. Hasilnya bisa ditebak: jutaan warga tak tercakup dalam DPT dan selanjutnya KPU dan pemerintah saling lempar tanggung jawab. Sementara jutaan rakyat yang dizalimi hak politiknya diabaikan begitu saja hak-haknya. Tuntutan Komnas HAM agar diadakan pemilu khusus guna mewadahi aspirasi warga yang tak bisa memilih bukan atas keinginan mereka sendiri tersebut juga tidak dipenuhi. 

Pemerintah bersikukuh bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas buruknya akurasi data pemilih potensial. Padahal APBN 2007 telah menyediakan anggaran Rp 230 milyar guna membiayai sistem informasi dan administrasi kependudukan. Departemen Dalam Negeri juga menerima dukungan dana pemilu dari APBN-P 2008 senilai Rp 667,73 milyar dan Rp 174,6 milyar melalui APBN 2009. Dana sebesar itu di luar anggaran pemutakhiran data pemilih hingga penetapan DPT sebesar Rp 3,8 trilyun. 

Yang menjadi tanda tanya ialah: dengan anggaran yang begitu besar, mengapa pekerjaan pemerintah terkait data pemilih potensial dan KPU dalam menyusun DPT, tidak bisa dipertanggungjawabkan? Lebih buruk lagi, tak satu pun dari keduanya mengaku bertanggung jawab atas masalah yang berdampak hilangnya jutaan hak pilih rakyat ini. 

Lalu bagaimana pertanggungjawaban penggunaan dana rakyat tersebut? Dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus ikut serius mencermati masalah pertanggungjawaban dana yang demikian besar itu. 

Pelanggaran Konstitusi









Angket merupakan hak DPR untuk menyelidiki kebijakan pemerintah yang diduga melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan terjadinya penghilangan jutaan hak pilih rakyat sebagaimana diuraikan di atas, maka bisa dikatakan pemerintah dan KPU telah melanggar konstitusi dan peraturan terkait lainnya. 

UUD 1945 pasal 22 E telah mengamanatkan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Penghilangan hak pilih sebagian rakyat jelas merupakan pelanggaran atas asas pemilu yang jujur dan adil. Dan ini sekaligus merupakan pelanggaran HAM, sebab hak memilih (dan dipilih) dalam pemilu yang fair merupakan salah satu hak sipil dan politik warga negara.

Jadi ini bukan masalah teknis penyusunan DPT semata. Penghilangan hak memilih warga negara merupakan kejahatan politik serius yang membahayakan proses konsolidasi demokrasi di negeri kita. Apalagi seperti juga ditegaskan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam siaran persnya, hak sipil dan politik warga dalam pemilu ialah salah satu pilar utama tatanan negara demokratis yang berbasis hak asasi manusia (human-rights based democracy).

Bahkan Komnas HAM menilai, penghilangan hak konstitusional warga dalam pemilu ini bersifat masif dan sistemik. Disebut masif karena skalanya yang luas (25-40% dari total pemilih potensial) dan sistemik (berawal dari sistem pendataan penduduk dan kelembagaan pelaksana pemilu).  

Urgensi Angket DPT




Fakta terjadinya penghilangan hak konstitusional warga negara untuk memilih tersebut menjadi dasar pertama perlunya angket DPR terkait manipulasi DPT ini. Adakah faktor kesengajaan guna menguntungkan atau merugikan kelompok tertentu, siapa saja yang terlibat dalam masalah itu dan siapa pula yang harus bertanggung jawab, dan seterusnya.

Terlebih dengan skalanya yang masif dan sistemik, penghilangan hak pilih ini bisa berujung pada digugatnya legitimasi pemilu 2009. Persoalan legitimasi pemilu ini menjadi alasan kedua pentingnya angket DPR ini. Masihkah pemilu 2009 legitimate jika faktanya terjadi penghilangan nyaris 50% hak memilih warga negara? 

Sebetulnya manipulasi DPT ini ditempuh melalui dua cara. Pertama, menghilangkan hak pilih warga negara di daerah-daerah tertentu. Kedua, menggandakan hak pilih warga tertentu. Baik dengan menggandakan pemilik nama yang sama dengan nomor induk kependudukan (NIK) yang berbeda atau sebaliknya: menggandakan NIK yang sama bagi pemilik nama (fiktif) yang berlainan. Padahal, secara nasional, NIK mestinya bersifat khas dan berlaku hanya satu nomor bagi satu orang penduduk. 

Manipulasi DPT melalui jalan di atas didukung serangkaian tindakan sistematis, antara lain pengucuran dana pemutakhiran data pemilih yang diulur-ulur. Ini berakibat KPU gagal memutakhirkan data pemilih secara cermat, bertanggung jawab, dan tepat waktu. Maka pengumuman DPT pun dilakukan dalam waktu mepet, berdasar data pemilih sementara (DP4) yang tidak akurat. Dengan demikian, tiada keleluasaan bagi partai-partai dan pemantau pemilu untuk mengecek silang data. 

DPR sangat perlu turun tangan dengan menggunakan hak angket guna membongkar dugaan manipulasi sistematis ini, sejak penyusunan daftar penduduk pemilih potensial (DP4) hingga penyusunan daftar pemilih tetap (DPT). Ini lebih urgen mengingat aparat kepolisian yang mestinya berwenang mengusut masalah ini sepertinya terkooptasi sedemikian rupa sehingga tak bisa berbuat banyak. Sebaliknya, Mahkamah Konstitusi sendiri merasa terbatas otoritasnya dalam hal mengadili sengketa hasil pemilu, tetapi tidak sampai menyentuh mekanisme curang yang terjadi selama pelaksanaan pemilu, termasuk penghilangan hak pilih warga negara ini.

Adanya pemutakhiran data pemilih untuk menyongsong pemilihan presiden sekarang ini sebetulnya secara implisit merupakan pengakuan dari Komisi Pemilihan Umum dan Pemerintah bahwa memang telah terjadi penghilangan hak pilih secara masif dalam pemilihan legislatif. Karena itu, agar tidak menjadi preseden buruk dan kian menurunkan kualitas demokrasi kita, DPR sangat perlu turun tangan. Apalagi hingga saat ini tidak satu pun lembaga terkait (KPU, Pemerintah, Polri, dan MK) yang betul-betul peduli untuk menguak masalah ini. 

Ketika tak satu pun pihak mau bertanggung jawab, sementara penegakan hukum atas kasus ini juga tak bisa diharapkan, maka solusi politik melalui penggunaan hak anget merupakan satu-satunya cara untuk mengungkap kejahatan politik berupa penghilangan hak pilih rakyat secara masif dan sistematis tersebut.[]








No comments: