Jun 10, 2009

Mengembalikan Kampus sebagai Wahana Kaderisasi Calon Pemimpin Bangsa





Oleh: Aria Bima*
Anggota DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan



Universitas adalah tempat untuk memahirkan diri kita,
bukan saja di lapangan technical and managerial know how,
tetapi juga di lapangan mental, di lapangan cita-cita,
di lapangan ideologi, di lapangan pikiran.
Jangan sekali-kali universitas menjadi tempat perpecahan.
***
(Soekarno, Kuliah umum di Universitas Pajajaran, Bandung, 1958).





PIDATO Bung Karno di atas sengaja saya kutip untuk mengawali tulisan ini. Sebab isi pidato tersebut sangat visioner. Ia mengingatkan kepada para mahasiswa Indonesia dan para sivitas akademika umumnya, agar tidak sekadar menjadikan kampus perguruan tinggi sebagai sarana menuntut ilmu yang bersifat teknis belaka –sesuai spesialisasi masing-masing. Akan tetapi, kita juga harus menjadikan kampus sebagai sarana menggembleng kaum muda sebagai calon pemimpin bangsa masa depan. 






Sebagai salah satu bapak bangsa, wajar jika Bung Karno sangat peduli kepada masalah kaderisasi atau penyiapan diri kaum muda, khususnya para pelajar dan mahasiswa ini. Sebab hanya dari kalangan kaum muda yang terdidik dengan baiklah yang bisa menjadi sumber rekruitmen regenerasi kepemimpinan nasional. Terlebih Bung Karno sendiri kala itu menyadari, cepat atau lambat generasinya akan terkikis habis oleh waktu dan harus kembali ke hadapan Sang Maha Kuasa.
Karenanya dalam rapat akbar Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) pada 1965, Bung Karno berwasiat kepada kaum muda: “Hari kemudian Indonesia bukan di tangannya Bung Karno thok... Hari kemudian Indonesia adalah terutama sekali di dalam tangannya pemuda-pemudi, yang hidup di zaman sekarang. Di segala lapangan, aku minta engkau betul-betul pemuda Indonesia yang gilang gemilang!”
Pesan Bung Karno tadi relevan dikemukakan kembali sekarang ini. Ini mengingat ada kecenderungan mahasiswa belakangan ini makin lama makin individualis bahkan hedonis. Kampus hanya dijadikan ajang berburu gelar sarjana seraya mencari pacar. Waktu senggang di luar kuliah pun cuma untuk main games, kencan, ngobrol, pesta; pendeknya hanya berhura-hura belaka. Akhirnya mahasiswa yang kutu buku, rajin diskusi, dan peduli terhadap masa depan bangsa dan negaranya menjadi barang langka. Kondisi ini diperparah lingkungan kehidupan sehari-hari yang kian materialistis sebagai dampak kebijakan ekonomi yang berwatak neoliberal.
Apalagi pada masa rezim otoriter Orde Baru, kampus-kampus perguruan tinggi di negeri kita juga mengalami apa yang disebut depolitisasi dan deideologisasi. Mahasiswa kala itu dilarang berpolitik. Mahasiswa tidak boleh ikut memikirkan persoalan-persoalan bangsanya. Mahasiswa hanya harus belajar “baik-baik” sesuai disiplin ilmunya masing-masing. Mahasiswa yang kritis dan peduli terhadap masalah rakyat dan bangsanya justru dianggap abnormal: ke sana kemari dibuntuti intel, atau bahkan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan subversif. Pada zaman saya kuliah itu, misalnya, hanya gara-gara membaca dan mendiskusikan buku-buku karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang dianggap “kiri”, para aktivis Kelompok Diskusi Palagan –sebuah kelompok diskusi mahasiswa— ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan subversif.
Karena itu, Orde Baru sengaja mengintroduksi kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus –lazim disingkat NKK/BKK— untuk mengebiri sikap kritis para mahasiswa. Soeharto dan aparatnya merasa hanya merekalah yang paling tahu dan berhak bicara ihwal masa depan bangsa ini. Implikasinya, kebebasan akademik dibungkam, demokrasi dihancurkan. Dengan konsep link and match, pendidikan direduksi fungsinya seperti era politik etis zaman penjajahan: pelajar dan mahasiswa hanya disiapkan menjadi buruh pabrik atau birokrat dan teknokrat.
Maka tak heran, seusai Orde Baru ambruk, bangsa kita mengalami krisis pemimpin dan kepemimpinan. Terutama dari kalangan pemimpin sipil. Ini akibat kampus semasa Orba tak lagi kondusif untuk bisa menyuplai kebutuhan kader pemimpin yang berkualitas. Pemimpin yang ada pun lemah, bukan saja lemah dalam aspek kepemimpinan, tapi juga lemah dalam aspek integritas moral. Tak sedikit para pemimpin yang merupakan produk perguruan-perguruan tinggi terkemuka negeri ini terlibat korupsi. Bahkan termasuk para akademisi yang menjabat sebagai anggota atau pimpinan Komisi Pemilihan Umum. Ini barangkali karena sewaktu mahasiswa pun mereka hanya peduli kepada diri sendiri.




Mahasiswa: Agent of Change



Padahal harusnya disadari bahwa sebagai sekelompok kecil generasi muda yang memiliki kesempatan menikmati pendidikan dengan level tertinggi, dengan sendirinya melekat tanggung jawab sosial di pundak mahasiswa untuk selalu menjadi pembela dan pengawal rakyat. Mahasiswa tidak boleh hanya memanfaatkan ilmu yang diperolehnya demi keuntungan pribadi atau demi pengembangan ilmu semata (ilmu demi ilmu). Seperti dikatakan Santo Ignatius Loyola, pendiri Ordo Serikat Jesus –di mana Universitas Sanata Dharma menjadi bagiannya— bahwa ilmu yang diperoleh mahasiswa dari bangku kuliah harus memiliki implikasi sosial: harus diabdikan demi kebaikan bangsa dan negara, demi kemaslahatan kemanusiaan. Dalam hal ini, menjadi tugas segenap sivitas akademika Universitas Sanata Dharma khususnya dan perguruan-perguruan tinggi sejenis umumnya untuk betul-betul mengimplementasikan spirit Santo Ignatius Loyola dalam konteks yang sesuai dengan tantangan zaman.
Dengan kata lain, dalam posisinya sebagai elite terdidik inilah mahasiswa harus melibas sikap individualistiknya dan menggantinya dengan sikap altruistik alias peduli kepada persoalan masyarakat dan sesama. Dalam konteks ini, mahasiswa perlu memposisikan diri sebagai agent of change, agen perubahan, bagi lingkungannya. Tentu saja perubahan ke arah yang lebih baik.
Apalagi mahasiswa –merujuk mantan rektor saya di UGM, Profesor Koesnadi Hardjasoemantri— idealnya ialah juga seorang intelektual muda. Intelektual berbeda dengan sarjana. Sarjana tidak otomatis intelektual, meski intelektual lazimnya lulusan perguruan tinggi. Ciri khas intelektual ialah, pertama, selain kompeten dalam disiplin ilmunya, ia juga mumpuni di luar spesialisasinya. Intelektual seorang spesialis yang generalis. Kedua, ia memiliki kepedulian besar kepada masyarakat di sekitarnya maupun masalah kemanusiaan umumnya.
Nah, para founding fathers Republik Indonesia, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Natsir, Tan Malaka, IJ Kasimo, atau Mgr. Soegijapranata, rata-rata adalah seorang intelektual pada zamannya. Soekarno, misalnya, meski mahasiswa teknik ITB, namun ia juga ideolog dan amat menguasai wacana politik, ekonomi, agama, maupun kebudayaan. Bahkan, karena rasa tanggung jawab sosial kepada bangsanya yang sangat besar, begitu lulus insinyur, Bung Karno memilih terjun sebagai aktivis pergerakan nasional dengan mendirikan Partai Nasional Indonesia saat usianya baru 27 tahun. Sebuah pilihan yang membawanya ke balik jeruji penjara dan pembuangan. Padahal, andai Soekarno mau, ia bisa saja memilih bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia-Belanda dengan gaji menggiurkan dan hidup tenang dan nyaman bersama noni-noni Belanda.



Kampus: Ajang Kaderisasi


Karena itu, di era reformasi sekarang ini, di tengah kebutuhan mendesak bangsa kita akan calon pemimpin yang berkualitas, kita harus mengembalikan kampus dan perguruan tinggi sebagai ajang kaderisasi calon pemimpin bangsa. Kampus harus menjadi “kawah candradimuka”: tempat menggembleng kaum muda berpendidikan tinggi sebagai calon-calon penerus tongkat estafet kepemimpinan nasional.
Pemimpin di sini tak hanya berarti presiden dan wakil presiden serta para menteri atau kepala daerah. Namun, juga para fungsionaris partai politik di pusat maupun daerah, para anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota, para pimpinan organisasi kemasyarakatan, para pemimpin dunia bisnis swasta dan BUMN, para pemimpin instansi pemerintah di bawah menteri dan kepala daerah, dan sebagainya. Nyaris segala lini dan level bangsa kita, saat ini memiliki urgensi untuk mendapatkan pasokan generasi baru pemimpin yang berkualitas dan berintegritas; generasi yang belum terkontaminasi oleh budaya korup dan kolutif serta ABS (asal bapak senang) ala Orde Baru. Di sinilah letak strategis kampus-kampus perguruan tinggi sebagai penyuplai calon pemimpin nasional.
Untuk keperluan itulah, berkebalikan dengan sikap Orde Baru, kita harus melakukan repolitisasi kampus. Mahasiswa harus diajak melek politik, diajak sadar akan tugas dan tanggung jawabnya akan masa depan bangsa. Akan tetapi, politiknya mahasiswa hendaknya bukan politik partisan atau sekadar kepanjangan tangan parpol-parpol di luar kampus. Politik mahasiswa adalah “high politics”: politik sebagai kepanjangan tangan rakyat dan bangsa secara keseluruhan. Politiknya mahasiswa adalah politik moral atau moral force, sebagai pengawal demokrasi, sebagai mata dan telinga rakyat; sebagai penyambung lidah rakyat.
Dengan bersikap nonpartisan, maka siapa pun yang sedang berkuasa tak menjadi soal bagi mahasiswa. Mahasiswa akan tetap bisa bersikap kritis lantaran bisa menjaga jarak dari kekuasaan. Maka, komitmen mahasiswa adalah kepada amanat penderitaan rakyat. Siapa saja yang menindas rakyat, siapa pun yang korupsi, siapa pun yang menginjak-injak HAM dan demokrasi; pendeknya siapa pun penguasa yang menjadi musuh rakyatnya sendiri, harus siap-siap menghadapi perlawanan mahasiswa.
Sebetulnya apa yang dilakukan Orba dengan depolitisasi kampus dulu hanyalah siasat demi pelanggengan kekuasaan Soeharto saja. Supaya para mahasiswa dan kaum intelektual saat itu mau menjadi aktor-aktor terdidik yang penurut kepada rezim yang berkuasa. Dengan alasan itulah, organisasi-organisasi ekstra mahasiswa seperti PMKRI, HMI, GMNI, PMII, IMM, GMKI, diusir dari kampus. Sebab ormas-ormas inilah yang konsisten melakukan kaderisasi bagi para mahasiswa. Ormas ekstra lalu dijerat dalam organisasi korporatis KNPI yang dikontrol penguasa.
Dampak depolitisasi Orba itu masih terasa hingga kini: rata-rata mahasiswa sekarang menjadi apolitis bahkan apatis terhadap segala persoalan rakyat dan bangsanya. Apalagi sistem kuliah ala SKS –juga biaya kuliah yang kian mahal akibat makin diienyahkannya subsidi pemerintah bagi perguruan tinggi, sebagai bagian dari agenda neolib— ikut mengondisikan para mahasiswa menjadi kian pragmatis. Tak aneh jika mayoritas mahasiswa hanya peduli kepada dirinya sendiri: cepat lulus, cepat kerja, dan cepat kaya raya.
Memang tak lama usai rezim Orba ambruk, NKK/BKK telah dicabut oleh pemerintah pasca-Soeharto. Dan iklim kehidupan mahasiswa sekarang lebih bebas. Namun, imbas dari nyaris 32 tahun dibungkam rezim Orba, ditambah iklim kehidupan masyarakat yang terlanjur sangat pragmatis, menyebabkan secara umum kehidupan mahasiswa saat ini masih stagnan. Hanya segelintir mahasiswa yang berani dan sanggup melawan arus pramatisme yang hegemonik dan kemudian tertarik terjun menjadi aktivis yang peduli akan masa depan bangsa ini. Kecuali itu, hingga saat ini, prakteknya ormas ekstra mahasiswa pun masih terkendala untuk kembali berkiprah secara leluasa di kampus-kampus.
Oleh karena itu, situasi ini harus segera diubah oleh segenap sivitas akademika perguruan tinggi. Di satu sisi, mahasiswa harus terus menerus memupuk kepeduliannya terhadap masalah-masalah rakyat dan bangsanya. Mahasiswa harus sejak dini menyiapkan dirinya menjadi calon pemimpin bangsa masa depan yang berkualitas dan memiliki integritas. Sebaliknya, otoritas kampus juga harus membuka kembali iklim kebebasan mahasiswa untuk berekspresi dan berorganisasi serta menentukan pilihan ideologinya. Kelompok-kelompok diskusi, sebagai ajang intelectual exercise, juga harus diberi ruang hidup kembali. Pers kampus yang kritis dan profesional harus diberdayakan. Student government atau dewan mahasiswa harus diberi ruang hidup yang sebenar-benarnya. Singkat kata, kampus harus dibuat kondusif bagi terjadinya dialektika pemikiran yang beragam dan menjadi wahana bagi para mahasiswa untuk melatih diri menjadi calon pemimpin bangsa dan negara di masa depan.
Ormas-ormas ekstra mahasiswa sendiri perlu bergandengan tangan untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran mahasiswa akan peran dan tanggung jawab sosialnya. Perbedaan ideologi atau orientasi politik antarormas ekstra tidak boleh menjadi alasan saling menegasikan, tetapi harus disikapi sekadar sarana untuk saling berlomba-lomba menawarkan gagasan yang terbaik bagi nusa dan bangsa. Dalam istilah saudara-saudara kita yang Muslim, perbedaan ideologi hanya sarana ber-fastabiqul khairat, yakni berlomba-lomba dalam kebaikan.
Sejalan itu, organisasi intra mahasiswa dan otoritas kampus pun perlu welcome kepada ormas-ormas ekstra. Di sisi lain, ormas-ormas ekstra harus bisa menahan diri untuk tidak menjadikan kehadirannya sebagai pemecah belah kampus atau sekadar perpanjangan kepentingan partai politik yang berada di luar kampus. Sebab jika tidak mau menahan diri, tak mustahil kehadiran ormas ekstra justru akan menjadi common enemy bagi mayoritas warga sivitas akademika. Dalam konteks inilah, barangkali, sebuah agenda bersama atau common platform perlu disepakati seluruh stake holders kampus. []


* Makalah untuk Seminar Peran Perguruan Tinggi dalam Menyiapkan Kepemimpinan Masa Depan Bangsa Indonesia, di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 19 April 2008.

No comments: