Jun 10, 2009

LANGKAH MUNDUR PENEGAKAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI BUMN





Oleh:
ARIA BIMA*
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan




SEBAGAI koreksi atas penyimpangan Orde Baru, maka salah satu tuntutan rakyat yang disuarakan Gerakan Reformasi 1998 ialah ditegakkannya pemerintahan yang baik dan bersih dari segala pencemaran korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Amanat rakyat inilah yang kemudian dituangkan oleh MPR dalam bentuk ketetapan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari KKN. Amanat ini kemudian ditindaklanjuti Presiden Megawati Soekarnoputeri waktu itu, antara lain dengan Keppres No. 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Keppres ini tanpa kecuali juga berlaku bagi kalangan BUMN.




Spirit di balik Keppres ini adalah dilaksanakannya asas transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa oleh negara, sebagai realisasi cita-cita penyelenggaraan BUMN yang bersih dan bertata kelola baik (good corporate governance). Dengan Keppres ini, ada kewajiban bagi tiap pengelola BUMN untuk hanya melakukan pengadaan barang dan jasa melalui mekanisme tender yang terbuka, etis, dan fair. Sementara para pejabat yang mengabaikannya harus siap menanggung konsekuensi hukum.



Sebelum ada Keppres ini, terutama pada masa Orde Baru, kalangan BUMN acap melakukan penunjukkan langsung kepada mitra kerjanya. Dengan penunjukkan langsung, prosedur kerja memang menjadi simpel dan cepat. Akan tetapi, implikasi negatifnya: negara seringkali harus membayar harga lebih mahal dari semestinya lantaran mark-up, sementara kualitas barang dan jasa yang diperoleh justru berada di bawah standar karena transaksi yang bersifat kolutif.



Karena itu kemunculan Keppres No. 80/2003 tersebut disambut gembira kalangan LSM antikorupsi dan jajaran masyarakat yang proreformasi, karena dipandang sebagai langkah maju dalam pengelolaan pemerintahan dan BUMN. Namun sayangnya, kabinet berganti, rupanya berbalik pula arah kebijakan. Kini dengan alasan Keppres tersebut terlalu bertele-tele dan mengganggu kinerja BUMN, muncul Surat Edaran Menteri BUMN Nomor S-298/S.MBU/2007 yang menyatakan bahwa Keppres itu tidak berlaku bagi BUMN.




Empat Kekeliruan



Dengan Surat Edaran Menneg BUMN ini, ada empat kekeliruan yang dilakukan pemerintah, kementerian BUMN khususnya. Pertama, keliru persepsi bahwa Keppres itu terlalu bertele-tele atau rumit untuk dilaksanakan BUMN. Persepsi ini tak benar, karena Keppres itu juga menyediakan opsi-opsi seperti penunjukkan langsung, yang dapat dilakukan BUMN dalam kondisi tertentu seperti darurat maupun bencana alam. Bahkan, instansi pemerintah pun dapat melakukannya. Ini misalnya dilakukan pemerintah dalam kasus pengadaan bantuan benih padi untuk petani pada tahun lalu. Hanya saja waktu itu tak ada aparat pemerintah daerah yang berani melakukan kebijakan penunjukkan langsung tersebut.



Kedua, Surat Edaran Menneg BUMN ini cacat prosedur. Kenapa? Karena ia membatalkan atau menghapuskan ketentuan peraturan yang levelnya berada di atasnya, yakni mengamandemen Keppres dengan Surat Edaran. Seharusnya, suatu ketentuan atau peraturan hanya dapat dibatalkan atau dikoreksi dengan peraturan yang selevel atau setingkat di atasnya, bukan di bawahnya.



Dari kacamata legal formal adalah sangat aneh bahwa seorang menteri yang merupakan pembantu presiden dapat membatalkan atau mengoreksi keputusan presiden, yang secara struktural merupakan atasannya. Betapapun Surat Edaran Menneg BUMN tersebut mungkin dibuat dengan sepengetahuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tetap saja Surat Edaran itu dengan sendirinya batal demi hukum karena cacat prosedur. Bila Surat Edaran ini tetap dipaksakan berlakunya bagi kalangan BUMN, maka patut diduga bahwa bisa saja kementerian BUMN memang kurang mengerti dengan masalah-masalah hukum.



Ketiga, karena menghapuskan kewajiban pengadaan barang dan jasa melalui tender seperti tercakup Keppres 80/2003 –yang merupakan implementasi asas transparansi dan akuntabilitas, maka Surat Edaran Menneg BUMN ini juga bertentangan dengan UU No.19/2003 tentang BUMN. Sebab dalam Pasal 5 ayat (3) dan 6 ayat (3) UU ini dicantumkan secara tegas kewajiban bagi seluruh komisaris, dewan pengawas, dan direksi BUMN untuk menerapkan prinsip-prinsip “profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran” yang merupakan derivasi dari sistem good corporate governance.



Keempat, Surat Edaran Menneg BUMN ini merupakan langkah mundur dari semangat dan amanat reformasi, khususnya terkait agenda penegakkan rezim pemerintahan yang bersih dari KKN. Sebab dengan meniadakan ketentuan wajib tender dalam proses pengadaan barang dan jasa itu, sama saja pemerintah membuka kembali peluang transaksi yang tidak transparan, kolutif, dan koruptif di lingkungan BUMN.



Maka dari itu, wajar bila tajuk rencana harian Media Indonesia menengarai bisa saja ada hidden agenda di balik Surat Edaran Menneg BUMN itu. Yakni, misalnya, sebagai persiapan untuk membuka kran dana bagi partai-partai politik tertentu. Apalagi pemilu tinggal setahun lagi. []

* Makalah disampaikan dalam diskusi publik “Membangun Masa Depan BUMN Melalui Penerapan Good Corporate Governance dalam Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa BUMN” yang diselenggarakan oleh DPP Taruna Merah Putih di Hotel Bumi Karsa, Jakarta, 10 April 2008.


1 comment:

Unknown said...

DPR adalah sebuah lembaga di mana semua orang di dalam nya buruk maupun baik ter stempel di dahi nya sebagai DPR wakil rakyat.
Kalau dulu jaman pergolakan para aktivis sebagai subjek( saya kira juga termasuk anda ) berkoar ke DPR sebagai objek untuk membenahi pemerintah, maka itu ditujukan untuk kurang lebih 1000 orang di Senayan.
Sekarang anda berada di dalam nya, bukan hal yang tepat ( CMIIM ) jika jeruk makan jeruk, DPR menyikapi pemerintah atau malahan teman "seperjuangan" sendiri di Senayan. Justru kebalikan, anda adalah objek penglihatan masyarakat. Kalau DPR jelek, berarti anda juga jelek. Tugas anda adalah memperbaiki kinerja dan citra wakil rakyat secara tangible, bukan hanya kritik, saran, ide bahkan mungkin hujatan.

Partai adalah harta, mungkin hanya saya yang punya pemikiran ini bahwa setiap individu di DPR harus siap menanggalkan ke-partai-an nya dan duduk sebagai individu mutlak wakil rakyat dan wakil hati nurani yang benar. Kalau ini berlanjut, maka saya yakin akan selalu berujung pada lobi politik dan dagang sapi.
Korupsi ( termasuk KOMISI ) adalah haram meskipun ( menurut anda dulu sebelum "terpilih" ) hasil nya untuk kepentingan sosial ataupun grass-root. Ini bukan jaman Robin Hood.
Masyarakat termasuk saya secara penuh hati sangat amat berharap dengan hasil kerja anda, bukan hanya paparan komentar dan analisis.
Karena cinta saya berani berkata.

Agustinus.
Pecinta, tukang komentar sekaligus memprihatini Indonesia