Jun 10, 2009

Ihwal Dikotomi Pemimpin Muda dan Tua



Oleh: Aria Bima
Politisi Fraksi PDI Perjuangan DPR RI




MARAKNYA wacana dikotomis yang mengasumsikan pemimpin muda seolah-olah identik dengan perubahan atau perbaikan kondisi bangsa, dan sebaliknya pemimpin tua seperti barang kadaluarsa yang tak layak pakai lagi, adalah terminologi keliru dan sangat menyesatkan. Wacana ini juga bersifat black campaign atau pembunuhan karakter kepada generasi pemimpin yang lebih berpengalaman, dan karena itu melanggar fatsoen atau tata krama politik.




Mengapa keliru dan menyesatkan? Pertama, usia muda tidak bisa dijadikan pertimbangan pokok atau variabel determinan untuk mengukur kualitas kepemimpinan seseorang. Bagi seorang pemimpin, yang terpenting dia harus visioner, dapat menjadi sumber inspirasi, dan mampu menggerakkan rakyat atau mengimplementasikan visinya dalam dataran kenyataan. Jika memiliki visi tapi peragu atau gagal mengeksekusi kebijakan, ia hanya menjadi penebar pesona atau pengumbar janji belaka meski usianya masih muda.


Kedua, wacana dikotomis yang diikuti seruan agar para pemimpin senior menyingkir dari ajang pemilihan presiden 2009 tidak demokratis. Ini lantaran dari perspektif demokrasi, kriteria utama bagi seorang pemimpin adalah sejauhmana ia bisa meraih dukungan rakyat secara sah melalui pemilu yang adil dan bebas. Ini tak ada kaitannya dengan usia pemimpin tersebut. Seruan yang bernuansa membatasi keikutsertaan para pemimpin tua dalam pemilihan presiden 2009 justru merupakan bentuk feodalisme baru yang mencederai sistem demokrasi. Karena itu bisa dipahami bahwa negara dedengkot demokrasi Amerika Serikat pun tak memasalahkan keikutsertaan John McKain sebagai kandidat presiden, kendati usianya 71 tahun. Sebaliknya, Barrack Obama, sebagai kandidat pesaing McKain dengan usia yang jauh lebih muda, juga tak pernah menyerang umur McKain.
 
Ketiga, wacana dikotomis yang bernuansa menjegal para calon presiden berusia di atas 50 tahun sebelum bertanding dalam pemilu itu juga tidak konstitusional. Ini karena UUD 45 sendiri tidak membatasi usia maksimal calon presiden dan wakil presiden RI. Pasal 6 ayat (1) UUD 45 hanya menyebut calon presiden dan wakilnya harus seorang WNI sejak kelahirannya, tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden. Sementara UU tentang pemilihan presiden dan wakil presiden justru membatasi usia minimal calon presiden dan wakil presiden “sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun” (pasal 6 poin q UU No.23/2003).


Seruan Mega
Patut diingat, para tokoh muda yang menggembar-gemborkan wacana dikotomis pemimpin muda versus tua tersebut rata-rata adalah tokoh intelektual yang sangat berpendidikan dan aktivis demokrasi dengan jam terbang tinggi. Karena itu amat ironis bahwa wacana yang dikembangkan oleh mereka justru wacana yang mencederai esensi demokrasi itu sendiri: yakni adanya kebebasan rakyat untuk memilih presiden dan wakil presiden melalui pemilu yang jujur, adil, dan bebas.
 
Karena itu, menurut saya, tampaknya para tokoh muda itu perlu berguru pada kearifan Megawati yang secara terbuka mengajak para tokoh muda –yang merasa punya kemampuan dan dukungan rakyat— untuk bertanding secara sehat dengan dirinya dalam pemilihan presiden 2009. Inilah pelajaran demokrasi terpenting dari Mbak Mega: boleh saja tak setuju dengan pandangan politik seseorang, tapi hendaknya tetap memberi kesempatan kepadanya untuk mengemukakan pendapat atau mengajukan diri dalam kompetisi politik yang fair.


Seperti tersirat dari berbagai pidato Megawati, pendapat ihwal perlunya pemimpin muda itu sendiri tak salah. Pertama, karena dalam alam demokrasi, setiap orang memang boleh berpendapat apa pun sejauh masih dalam koridor yang dibolehkan hukum, termasuk dalam hal perlunya tokoh muda maju dalam bursa pemilihan presiden 2009. Kedua, bangsa ini kapan pun memang senantiasa membutuhkan regenerasi kepemimpinan nasional, agar jangan sampai mengalami krisis kepemimpinan apalagi vakum kepemimpinan bangsa.


Akan tetapi, pendapat yang mengasumsikan jika negara dipimpin kaum muda dengan sendirinya dapat menyelesaikan masalah dan sebaliknya tokoh tua dianggap tak mampu mencari solusi atas kompleksitas persoalan bangsa kita, ini yang perlu dikritisi. Pertama, substansi pendapat ini bermasalah, sebab seolah-olah usia biologis seseorang yang belia berbanding lurus dengan kualitas kepemimpinan dan kapabilitasnya untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa yang demikian ruwet. Seakan-akan variabel kompetensi, integritas, maupun leadership dengan sendirinya melekat secara alamiah pada mereka yang masih berusia muda. Betulkah? Jika benar, kenapa para pejabat atau pemimpin korup yang belakangan ditahan KPK rata-rata justru berasal dari jajaran muda usia?


Kedua, para tokoh muda kita sekarang tak dapat dibandingkan begitu saja dengan era para founding fathers negeri ini yang juga memimpin negeri pada saat rata-rata usianya masih muda. Sutan Sjahrir misalnya, menjadi perdana menteri pada usia 30-an tahun. Namun, harus diingat bahwa ia dimatangkan oleh pengalaman terlibat dalam pergerakan dan revolusi kemerdekaan. Ini sangat berbeda dengan generasi sekarang yang tak bisa lagi menikmati gemblengan fase perjuangan kemerdekaan, dan sebaliknya justru sebagian besar dimanjakan gaya hidup materialistik ala Orde Baru.


Para founding fathers tersebut menjadi panutan rakyat secara alamiah, sebagai konsekuensi dari komitmen dan kinerja perjuangannya membela kepentingan bangsa dan negara. Karena itu mereka juga tidak merasa perlu memajang aksi tebar pesona melalui iklan-iklan yang memuji diri sendiri melalui media cetak maupun elektronik. Mereka tidak menebar janji, tetapi menanam bukti.


Walhasil, jika dilihat dari variabel umur saja, sekarang ini memang telah cukup banyak tokoh muda yang menasional. Akan tetapi, jika dinilai dari rekam jejak aktivitasnya, visinya, integritasnya, komitmennya, kualitas kepemimpinannya, barangkali kita hanya bisa menemukan segelintir kaum muda seperti ini. Apalagi yang mau terjun dalam ranah politik praktis. Rata-rata kaum muda visioner hingga kini masih melihat politik praktis dengan cara yang sangat skeptis.


Mereka lebih suka menyingkir ke wilayah akademis, LSM, atau ruang-ruang aktivitas sosial atau profesional yang relatif jauh dari kemungkinan terkontaminasi citra buruk para politisi yang dinilai masih hanya memperjuangkan kepentingan sendiri. Dan repotnya pelbagai survei menunjukkan, rata-rata masyarakat kita masih merasakan kehadiran para politisi lebih untuk memperjuangkan kepentingan dirinya atau partainya daripada rakyat.


Karena itu, lebih penting digulirkan munculnya sosok calon presiden yang berpikiran dan berjiwa muda alias progresif, terlepas ia masih muda atau sudah tua. Sosok pemimpin beginilah yang lazimnya visioner, inspiratif, berintegritas, kompeten, dan dapat betul-betul merealisasikan agenda perubahan ke arah lebih baik seperti dicanangkannya. Adakah calon presiden seperti itu? Hanya rakyat yang bisa merasakannya. Dan biarlah rakyat secara demokratis menyampaikan penilaiannya itu melalui ajang pemilu: vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. []


Catatan: Tulisan pernah disampaikan dalam dialog terkait isu pemimpin tua versus pemimpin muda di Gedong Joang 45 Jakarta (2008).



No comments: