Jun 10, 2009

Minyak Goreng dan Petaka Negara Perusahaan





Oleh:
Aria Bima
Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI




KETIKA harga komoditas beras naik, pemerintah sigap mengatasi dengan beragam cara: operasi pasar atau impor beras. Akibatnya petani padi tak sempat menikmati kenaikan harga itu. Padahal merekalah yang selama ini menjadi mayoritas warga yang paling sengsara.





Tapi, sebaliknya, saat harga minyak goreng membubung tinggi, pemerintah ragu bahkan takut mengambil kebijakan tegas mengendalikannya. Sementara yang berpesta pora akibat kenaikan harga minyak goreng ini hanya segelintir pelaku usaha besar saja, yang cenderung oligopolis, bahkan telah mengarah sebagai kartel, yang bisa mengatur pasokan maupun harga di pasar. Mereka hanya terdiri 5 atau 6 kelompok usaha saja. 





Karena pemerintah ragu atau takut bertindak tegas, hasilnya: konsumen minyak goreng dalam negeri kelabakan karena harus membayar nyaris dua kali lipat dibanding harga semula. Sebelum naik, harga minyak goreng curah hanya sekitar Rp 6.000 per kilogram. Sedangkan sekarang ini, di beberapa daerah, harganya telah menyentuh Rp 10 ribu per kilogram. 





Tak bisa dipungkiri, minyak goreng adalah salah satu produk strategis yang menjadi bahan pokok makanan rakyat. Karena itu selayaknya jika negara atau pemerintah terjun secara langsung mengendalikan harga maupun ketersediaannya di pasaran. Apalagi masyarakat saat ini daya belinya masih lemah akibat kenaikan drastis bahan bakar minyak (BBM) dan belum pulihnya sektor riil mengerakkan perekonomian nasional.


Terlebih lagi, sebagai salah satu produsen minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) terbesar di dunia, yang berpotensi mempengaruhi pembentukan harga CPO di pasar internasional, adalah sangat ironis jika pemerintah Indonesia gagal mengatur harga dan pasokan komoditas ini di negerinya sendiri.


Mungkin para ibu rumah tangga dapat menyiasati mahalnya harga minyak goreng dengan cara merebus, menanak, mengukus, atau memanggang bahan pangannya, sehingga tak terlalu banyak membutuhkan minyak goreng. Tapi tidak demikian dengan pedagang gorengan, produsen kerupuk, penjual nasi goreng, atau mi goreng di tepi jalan. Tak sedikit di antaranya yang sekarang gulung tikar lantaran harga minyak goreng tak lagi terkejar hitung-hitungan bisnis makanan rakyat itu.


Fakta di atas menyisakan pertanyaan: ada apa sebenarnya di balik kenaikan harga minyak goreng yang telah mulai berlangsung sejak 6 bulan lalu dan terkesan adanya pembiaran saja oleh pemerintah ini?



Beberapa Kemungkinan

Ada beberapa kemungkinan jawaban atas pertanyaan di atas. Pertama, adanya titik temu kepentingan antara penguasa dan pengusaha produsen CPO. Ini bisa dipahami karena salah satu usaha yang bergerak dalam produksi CPO milik salah satu menteri kabinet. Pemerintah, baik presiden, wapres, atau menteri-menteri bidang perekonomian, tak mustahil merasa sungkan kepada salah satu menteri yang memiliki grup usaha dalam bidang agrobisnis, khususnya produksi minyak sawit ini.


Kemungkinan kedua, bisa jadi hampir semua konglomerat di balik kartel minyak goreng atau CPO merupakan pendana pasangan capres-wapres yang berkuasa saat ini pada masa Pemilu 2004. Walhasil, ada perasaan berhutang budi dari para pemangku kekuasaan, khususnya pasangan presiden dan wapres, untuk mengambil kebijakan yang memenangkan rakyat dan sekaligus mengalahkan para konglomerat “baik budi” itu.


Jika benar dua dugaan di atas, maka bisa dikatakan bahwa terus melambungnya harga minyak goreng lebih disebabkan adanya kolusi antara pemegang kekuasaan dan pelaku usaha perminyakgorengan.


Memang, jika disodorkan sinyalemen di atas, pemerintah bisa berkilah telah mengupayakan kebijakan stabilisasi harga atau operasi pasar minyak goreng. Tapi apa artinya operasi pasar jika pelaksanaannya diserahkan pada “niat baik” para pelaku usaha minyak goreng saja tanpa kontrol ketat pemerintah?


Lagi pula, operasi pasar ternyata salah sasaran: lebih banyak diserobot spekulan dan tengkulak untuk dijual lagi kepada rakyat dengan harga pasar. Lebih dari itu, juga tak ada sanksi yang tegas jika operasi pasar tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Maka, tak mengherankan jika operasi pasar akhirnya gagal menstabilkan harga, dan minyak goreng curah kini justru menyentuh harga Rp 10 ribu per kilogram.

Pemerintah bisa pula berkilah bahwa mereka telah mengambil kebijakan penjatahan CPO bagi konsumsi dalam negeri (domestic market obligation, DMO) melalui menteri pertanian. Namun apa artinya keputusan menteri jika tak disertai ancaman sanksi yang tegas dan keras? Buktinya, meski ada kebijakan DMO, pasokan CPO bagi industri minyak goreng dalam negeri tetap saja langka dan mahal hingga berakibat harga minyak goreng tak terkendali.


Kemungkinan ketiga, adanya salah asumsi pemerintah, khususnya menteri perdagangan, yang menilai kenaikan harga CPO hanya temporer sifatnya. Pemerintah sempat memprediksi, awal Juni ini harga CPO dunia akan turun yang diikuti menurunnya harga minyak goreng dalam negeri. Tapi, ternyata, harga CPO tetap saja tinggi.


Kenapa? Sebab kenaikan harga CPO ini bukan karena produksi CPO yang rendah, tapi lantaran meningkatnya permintaan dunia akan CPO untuk produksi bahan bakar nabati (biofuel). Dengan kata lain, fenomena kenaikan harga CPO dan minyak goreng ini tampaknya cenderung menjadi fenomena jangka panjang.



Kemungkinan keempat, paradigma pembangunan ekonomi yang dianut pemerintah saat ini ialah paradigma neoliberal, yang cenderung membiarkan dunia bisnis sepenuhnya dikuasai mekanisme pasar dengan mengharamkan intervensi pemerintah secara langsung, baik lewat regulasi atau pemakaian instrumen tarif dan subsidi. Ini juga dibuktikan oleh tak adanya hingga kini regulasi yang bersifat memaksa (mandatory) pelaku usaha CPO dan minyak goreng dengan sanksi yang tegas dan keras maupun intervensi berupa subsidi bagi konsumen minyak goreng.



Dengan menganut neoliberalisme, maka tren negara kita saat ini makin jauh dari cita-cita negara yang berkeadilan dan menjamin kesejahteraan umum seperti dikehendaki Pancasila dan UUD 1945. Dan, sebaliknya, makin menjadi format negara perusahaan (corporate state). Dalam konteks inilah sebetulnya pemerintah bisa dinilai telah melanggar konstitusi.



Dalam format negara perusahaan, kita nyaris mustahil menuntut adanya sikap nasionalisme atau patriotisme para pelaku usaha besar tadi. Negara perusahaan lebih mementingkan pertumbuhan, efisiensi, dan pada gilirannya lebih memihak segelintir usaha-usaha besar. Dalam format inilah salah satu tujuan bernegara untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945 menjadi terpinggirkan, bahkan tak mustahil dienyahkan sama sekali. Sebab negara tereduksi menjadi sekadar fasilitator proses produksi atau pelindung usaha-usaha besar saja, baik lokal maupun global (multinational corporations).


Kemungkinan kelima, dan ini tampaknya yang lebih realistis, ialah terjadinya kombinasi berbagai faktor di atas sehingga mampu menjerat langkah pemerintah untuk mengambil tindakan tegas atas para pelaku usaha besar CPO dan minyak goreng.



Artinya, di satu sisi memang terjadi kolusi antara penguasa dan pengusaha yang berakibat mandulnya tindakan pemerintah dalam mengatasi kenaikan harga minyak goreng, tapi di sisi lain juga terjadi salah asumsi pemerintah bahwa kenaikan harga CPO dan minyak goreng hanya sementara sifatnya. Di luar itu, lebih dari segalanya, platform ekonomi pemerintah sendiri memang berwajah neoliberal, yang nyaris tak memiliki empati atas kesulitan rakyat akibat permainan pebisnis raksasa dan cenderung menyulap negara menjadi negara perusahaan. Inilah petaka negara perusahaan itu![] Catatan: pernah dimuat di Solo Pos (2007).

No comments: