Jun 10, 2009

Kaum Muda dan Krisis Kepemimpinan Bangsa





Oleh: Aria Bima*
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan



“Sesungguhnya seorang pemimpin (imam) laksana perisai;
orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung.”
(Hadis Riwayat Muslim)




KEPEMIMPINAN (leadership), menurut sosiolog Profesor Soerjono Soekanto, secara umum memiliki makna kemampuan dari seseorang –yang memiliki posisi sebagai pemimpin atau leader— untuk mempengaruhi orang lain –yakni para pengikut—, sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki sang pemimpin. Apabila para pemimpin gagal melaksanakan tugasnya ini, maka kepemimpinannya menjadi tidak efektif, dan akibatnya terjadilah krisis kepemimpinan. Inilah yang saat ini tengah dihadapi bangsa kita. Kita mengalami krisis kepemimpinan nasional. Sebab pemimpin nasional yang ada gagal menjadi sumber inspirasi bangsa. Mereka gagal mengajak rakyat bangkit melawan segala keterpurukan yang menjerat bangsa kita sejak satu dekade terakhir.




Sementara itu, dalam wacana religius Islam –yang tentunya menjadi rujukan keseharian teman-teman HMI— dikenal pemahaman bahwa setiap diri kita adalah pemimpin. Karena itu, konsekuensinya, kelak di kemudian hari setiap diri kita bakal dituntut pertanggungjawaban oleh Tuhan yang Maha Kuasa atas kualitas kepemimpinan kita masing-masing. Artinya, dari sudut pandang Islam, kepemimpinan apa pun levelnya tak hanya memiliki dimensi duniawi atau kini dan di sini, tetapi juga dimensi akhirati atau nanti, di kehidupan kita setelah mati.
Akan tetapi, kendati demikian, toh kita dapat melihat dalam realita kehidupan sehari-hari, betapa banyak di antara kita yang menganggap sepele tugas memimpin tersebut. Lantaran menganggap sepele, maka implikasinya banyak orang yang tidak dapat memegang teguh tanggung jawab atau komitmennya sebagai pemimpin. Dengan kata lain, tidak amanah, tidak dapat dipercaya, untuk mengemban tugas dan wewenangnya sebagai pemimpin. Para pemimpin mengalami krisis integritas secara berjamaah! Padahal, seperti pesan Nabi Muhammad di awal tulisan ini, seorang pemimpin idealnya adalah laksana perisai, tempat masyarakat atau rakyat berlindung di belakangnya.
Jika para pemimpin tidak amanah, tidak dapat dipercaya, akibatnya masyarakat ibarat ayam kehilangan induk. Bagaimana tidak, pemimpin lembaga kepolisian ditangkap karena menjadi bandar narkoba atau memeras terdakwa; pemimpin lembaga dakwah justru menginjak-injak nilai-nilai luhur agama; pemimpin lembaga yudikatif ditangkap KPK karena suap; pemimpin dari jajaran legislatif dan eksekutif ramai-ramai melacurkan jabatan demi menumpuk materi melalui korupsi. Presiden dan wapres pun hanya pintar mengobral janji dan rajin menjaga citra, tapi gagal menebar kesejahteraan dan menjaga kepercayaan rakyat. Maka, kepada siapa lagi rakyat harus berlindung atau menggantungkan harapan?
Maka sangat ironis: pada saat kita memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, kenyataan yang kita hadapi justru kian mendekatkan bangsa kita ke jurang kebangkrutan nasional. Dan salah satu sebabnya yang signifikan adalah karena kita sekarang ini mengalami krisis pemimpin dan kepemimpinan bangsa. Dan, inilah krisis warisan rezim Orde Baru yang dampaknya paling fatal, sebab negara dan masyarakat sekarang ini seperti berjalan tanpa pemimpin, lembaga-lembaga negara menjadi institusi lemah, dan situasi sosial carut-marut seolah tiada lagi ketertiban dan otoritas yang bisa dijadikan panutan.



Krisis yang Merata


Krisis pemimpin dan kepemimpinan ini merata, menyentuh hampir semua level dan lembaga negara, bahkan juga lembaga-lembaga masyarakat yang relatif otonom terhadap negara. Jadi tidak hanya menyangkut lembaga kepresidenan. Indikasinya, kita kesulitan menemukan sosok pemimpin yang berkarakter ideal: efektif, dapat dipercaya, dan bisa menjadi sosok yang patut diteladani (uswatun hasanah). Dengan kata lain, nyaris semua pemimpin di semua lini hanya mengedepankan cara berpikir rasional subyektif atau rasional instrumental. Dikatakan demikian, karena rata-rata mereka hanya mengedepankan kepentingan pribadinya atau sekadar menjadi alat dari hasrat subyektifnya sendiri, keluarga, atau kelompoknya.
Padahal, sosok pemimpin mestinya mengedepankan kepentingan mereka yang dipimpin; berwatak altruistik, dengan menempatkan kepentingan diri, keluarga, atau kelompoknya di bawah kepentingan publik yang lebih luas. Pemimpin harusnya bukan berdiri di atas rakyat atau sejajar dengan rakyat, tetapi mestinya mengabdikan diri di bawah kepentingan rakyat.
Mengapa bisa demikian? Inilah salah satu dampak kekuasaan panjang rezim Orde Baru yang telah memberangus iklim yang kondusif bagi munculnya pemimpin dengan karakter yang ideal. Seperti kita tahu, rezim modernisasi atau pembangunan ekonomi yang amat materialistis dan bertumpu pada aspek pertumbuhan semata, telah menciptakan lahirnya generasi bangsa yang individualistis, hedonistis, pragmatis, materialistis, dan egoistis. Nilai-nilai sesaat seperti kesuksesan karir pribadi, kekayaan pribadi, menjadi amat penting bagi generasi ini. Bahkan, tak jarang tujuan dapat menghalalkan cara demi mencapai kesuksesan atau kekayaan pribadi tersebut.
Akibatnya, posisi pemimpin atau jabatan publik pun kerap diincar sekadar sebagai batu loncatan untuk kaya dan berkuasa. Walhasil, lembaga-lembaga negara atau publik yang potensial dijadikan lahan korupsi justru dianggap sebagai “lahan basah” yang diperebutkan banyak orang. Sosok pemimpin amanah dan sederhana seperti Bung Karno, Bung Hatta, Jenderal Sudirman, Sjahrir, Natsir, atau Tan Malaka, menjadi makhluk yang amat langka di negeri kita sekarang ini. Kekayaan dan kemewahan serta keserakahan seolah menjadi seragam wajib bagi para pemimpin masa kini. Sementara pada saat yang sama, rakyat seolah sah-sah saja dibiarkan menjadi makhluk yang sengsara dan melarat sepanjang masa.
Kondisi itu diperparah kebijakan depolitisasi sekolah dan kampus yang diintroduksi rezim Orba. Organisasi massa pelajar dan mahasiswa dilarang masuk sekolah dan kampus. Pelajar dan mahasiswa, yang tak lain calon pemimpin bangsa di masa depan, dijauhkan dari tradisi memikirkan urusan-urusan rakyat dan negara. Mirip politik etis Hindia-Belanda, rezim Orba mengkondisikan para pelajar dan mahasiswa sekadar sebagai calon buruh industri atau pegawai kantoran. Sementara para tokoh mahasiswa yang kritis dan berkarakter baik justru dibui atau dieliminasi dari kampus.Yang diberi peluang penguasa hanya mereka yang oportunis atau ABS (Asal Bapak Senang). Mereka ditampung dalam wadah korporatis yang difasilitasi dan dikontrol penguasa. Mereka sekadar menjadi abdi penguasa atau pemodal, dan bukan abdi rakyat.
Akibatnya, sejak Soeharto tumbang hingga hari ini, kita mengalami krisis pemimpin dan kepemimpinan. Hanya segelintir orang yang mampu tampil ke depan sebagai pemimpin. Ironisnya, dari yang segelintir itu pun nyaris semuanya tidak memiliki etos kepemimpinan yang kuat dan berkarakter. Yang ada adalah tipe pemimpin lemah, peragu, penakut, tak berani mengambil keputusan tegas dan cepat, tak berani menanggung risiko. Inilah tipe pemimpin produk era ABS, yang rajin “minta petunjuk” atasan semasa Soeharto. Sosok pemimpin yang sejatinya bukan pemimpin, karena tak mampu memberikan kepemimpinan yang inspiratif dalam memotivasi rakyat untuk bersatu dan bangkit melawan keterpurukannya.
Ironisnya, sistem ekonomi neoliberal yang dianut pemerintah sekarang justru kian memperparah iklim yang tidak kondusif bagi munculnya pemimpin yang ideal itu. Perguruan tinggi negeri diubah menjadi semacam pabrik sarjana dalam bentuk Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum Pendidikan (BHMN/BHP). Akibatnya kuliah di PTN yang semula pilihan murah bagi rakyat, menjadi sangat mahal dan hanya terjangkau kelas menengah ke atas. Karena biayanya amat mahal, mahasiswa pun terdorong cepat-cepat lulus dengan mengikuti semester pendek. Mereka enggan melibatkan diri ke dalam aktivitas nonakademis seperti organisasi ekstra kampus atau kelompok diskusi. Padahal kegiatan ini sangat penting sebagai ajang intelectual exercise dan mengasah talenta kepemimpinan mereka sebagai calon pemimpin bangsa. Sebaliknya, mereka hanya berlomba agar segera menjadi sarjana yang siap masuk pasar kerja alias menjadi tukang-tukang yang bertitel, tetapi bukan calon-calon pemimpin yang berkarakter.



Ciptakan Iklim Kondusif


Guna mengatasi krisis pemimpin dan kepemimpinan, saatnya sekarang ini semua pihak yang peduli –terutama kaum muda sendiri— harus berani melawan arus dengan menyerukan gerakan hidup sederhana, lurus, dan mandiri. Menolak gaya hidup hedonis, materialistis, dan individualistis ala neoliberal. Kemudian juga mentradisikan gaya hidup tanpa korupsi sejak dini. Sekolah dan kampus pun harus dibuat kondusif bagi ajang persemaian calon-calon pemimpin bangsa, bukan sekadar pabrik pelajar atau sarjana. Kebijakan NKK/BKK yang secara formal sudah dihapus pada awal reformasi, harus diikuti dengan mengizinkan kembali organisasi-organisasi ekstra mahasiswa berkiprah di kampus-kampus. Begitu pula organisasi massa pelajar mesti diizinkan kembali masuk sekolah. Sekolah dan kampus harus menjadi semacam miniatur negara dan masyarakat, tempat para pelajar dan mahasiswa berdialektika, melatih dirinya menjadi calon pemimpin bangsa dan negara.
Sejalan dengan itu, kita pun harus menyebarkan gaya berpikir yang bersifat rasional substansial dan meninggalkan pola pikir rasional instrumental. Artinya, seluruh lapisan masyarakat –apalagi kaum muda dan mahasiswa yang merupakan calon pemimpin masa depan— harus diajak untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri (individualistis), tapi harus dibiasakan memikirkan kepentingan bersama yang lebih luas (altruistis). Dengan demikian, bila mereka kelak menjadi pemimpin akan senantiasa amanah, dengan menjunjung tinggi kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok. Mereka harus menjadi juru bicara rakyat dan bangsanya. Meminjam istilah ideolog revolusi Islam Iran, Ali Syariati, mereka harus menjadi “nabi” yang membuka mata dan menunjukkan arah bagi rakyat dan bangsanya untuk bangkit melawan segala keterpurukan! Menjadi pemimpin yang secara efektif dapat menggerakkan rakyat mengejar tujuan-tujuan ideal yang substansial.
Tidak seperti saat ini, secara formal banyak orang memiliki posisi pemimpin, tapi menjadi peragu dan takut mengambil risiko dalam memutuskan kebijakan. Atau, justru membuat kebijakan demi kepentingan pribadi, guna memupuk kekuasaan atau kekayaan. Mereka menjadi pemimpin hanya karena SK alias surat keputusan. Bukan pemimpin yang lahir karena memang dibutuhkan rakyat atau mampu memimpin rakyat. Akibatnya, seperti kita lihat, hampir tak ada pemimpin yang bisa dijadikan panutan. Dan, seiring dengan itu, juga nyaris tiada kepemimpinan yang bisa menjadi acuan ihwal bagaimana bangsa ini harus melangkah ke depan. Hasil akhirnya, rakyat pun seperti anak ayam kehilangan induk. []




* Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Kepemimpinan Nasional, yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badan Koordinasi (Badko) Jawa Tengah dan DIY, di Karanganyar, Jawa Tengah, 25 Mei 2008.

No comments: