Jun 10, 2009

Mengaktualkan Spirit Sumpah Pemuda






Oleh: Aria Bima
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan



SUMPAH PEMUDA yang diikrarkan para tokoh pemuda pada 28 Oktober 1928 ialah peristiwa penting dalam proses pembentukan bangsa dan negara kita. Sebab ketika apa yang disebut Indonesia masih sebatas imajinasi penduduk tanah jajahan Hindia-Belanda, para pemuda justru telah menyadari bahwa cita-cita membentuk bangsa dan negara Indonesia di atas kepulauan Nusantara adalah sesuatu yang sangat mungkin.




Hanya saja, untuk itu, pertama-tama dibutuhkan adanya kesadaran massal bahwa para calon warga bangsa dan negara Indonesia harus bersedia mengedepankan kebersamaan dan menomorduakan perbedaan. Untuk itulah, para pemuda merasa perlu dengan lantang menyerukan apa yang disebut Sumpah Pemuda, yang berisi pengakuan visioner bahwa mereka hanya ber-Tanah Air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia.



Bayangkan, para pemuda yang semula tergabung dalam kelompok-kelompok primordial semacam Jong Java, Jong Islam, Jong Ambon, atau Jong Sumatera, pada satu titik bersepakat meleburkan diri ke dalam barisan pemuda Indonesia. Inilah peristiwa apresiasi kultural dan politis yang alami dan monumental atas realitas kemajemukan bangsa Indonesia. 



Sebab, dengan Sumpah Pemuda, para pemuda menyadari bahwa kemajemukan adalah keniscayaan (natural law) yang menjadi salah satu ciri khas bangsa Indonesia. Kemajemukan di satu sisi memang menjadikan bangsa Indonesia menyimpan potensi konflik internal yang inheren dalam dirinya. Namun, sebaliknya, mereka juga menyadari bahwa kemajemukan akan menjadi anugerah asal saja semua entitas yang beragam tadi memiliki kemauan untuk menyatu menjadi warga Indonesia yang berbangsa satu, berbahasa satu, dan ber-Tanah Air satu.


Dalam hal ini, perbedaan tak perlu ditiadakan. Ia cukup disiasati agar tidak menjadi faktor pencetus disintegrasi dan sebaliknya justru dapat menjadi salah satu aspek kebanggaan nasional (national pride) sebagai bangsa. Karena itulah, kemudian mengemuka semboyan agung Bhinneka Tunggal Ika dalam lambang negara kita Garuda Pancasila. Sebuah semboyan yang maknanya: meskipun berbeda-beda latar belakang suku, etnis, daerah, bahasa, agama, atau budaya, namun semuanya menjadi bagian yang harmonis dari apa yang kini kita sebut bangsa Indonesia.


Maka dari itu, Indonesia bukanlah sebuah bangsa yang jatuh dari langit begitu saja. Sebaliknya, apa yang disebut bangsa Indonesia adalah sebuah proses yang menjadi. Bahkan hingga hari ini pun proses menjadi itu masih terus berlangsung. Bangsa Indonesia merupakan hasil upaya sadar para pemuda perintis dan pendiri bangsa, dalam sebuah rangkaian panjang pembentukan jati diri bangsa (nation-character building). Upaya yang semula bersifat kultural dan politis dalam bentuk Sumpah Pemuda ini lalu berpuncak secara yuridis formal dalam wujud Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta. Dari konteks ini, Proklamasi 1945 sejatinya hanya formalisasi atas apresiasi kultural dan politis Sumpah Pemuda.



Spirit Sumpah Pemuda

Jadi, dari uraian di atas, bisa kita lihat spirit dan peran sentral kaum muda dalam proses pembentukan bangsa ini. Kaum muda juga tampil ke depan ketika bayi RI membutuhkan pejuang di medan perang. Mereka maju bertempur sebagai tentara pelajar. Bahkan partai-partai politik prakemerdekaan pun –yang besar jasanya dalam menggugah rasa patriotisme dan nasionalisme rakyat— juga didirikan anak-anak muda. Soekarno misalnya, mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada umur 27 tahun.


Namun, sayangnya, sejak rezim Orde Baru berkuasa, kaum muda termarjinalisasi. Pemuda-pemuda hanya disiapkan sebagai pekerja pabrik atau pegawai kantoran. Sebuah kebijakan yang mirip politik etis Hindia-Belanda. Iklim yang kondusif untuk menggembleng mereka menjadi calon pemimpin bangsa ditiadakan. Kampus dan sekolah didepolitisasi. Organisasi massa pelajar dan mahasiswa seperti IPM, IPPNU, GMNI, HMI, GMKI, PMKRI, dilarang masuk sekolah atau kampus. Kebijakan NKK/BKK pun diintroduksi Orba untuk membungkam sikap kritis kaum muda. Hanya para pemuda ABS (Asal Bapak Senang) yang dielus-elus dan diberi wadah dalam organisasi korporatis yang dikontrol penguasa.


Akibatnya, sejak Soeharto tumbang hingga hari ini, kita mengalami krisis pemimpin dan kepemimpinan. Hanya segelintir orang Indonesia yang mampu tampil ke depan sebagai pemimpin. Ironisnya, dari yang segelintir itu pun nyaris semuanya tidak memiliki etos kepemimpinan yang kuat dan berkarakter. Yang ada ialah tipe pemimpin lemah, peragu, penakut, tak berani mengambil keputusan tegas dan cepat, tak berani menanggung risiko. Inilah tipe pemimpin produk era ABS dan “minta petunjuk” masa Soeharto. Sosok pemimpin yang sejatinya bukan pemimpin, karena gagal memberikan kepemimpinan yang inspiratif dalam memotivasi rakyat untuk bersatu dan bangkit melawan keterpurukannya.


Seiring dengan itu, para tokoh muda juga tak lagi memiliki peran yang cukup berarti di panggung nasional. Negara, hampir dalam segala aspek, didominasi kaum tua. Kalaupun ada tokoh muda yang muncul, juga tak mampu menunjukkan visi dan kompetensi sebagai pemimpin masa depan. Sebab iklim yang melahirkan mereka pun tidak kondusif untuk itu.


Dengan statistik kepemimpinan yang didominasi kaum produk iklim Orde Baru yang tidak kondusif itu, kecil kemungkinan kita bisa berharap dalam waktu dekat bakal muncul perubahan signifikan atas nasib negeri ini. Sebab, iklim yang ada masa itu cenderung menghasilkan tokoh atau pemimpin yang berkarakter lemah, tidak bervisi jauh ke depan, dan cenderung mementingkan kepentingan pribadinya sendiri-sendiri.


Karena itulah, sekarang ini kita perlu mengaktualkan kembali spirit Sumpah Pemuda dengan salah satunya menghidupkan lagi iklim yang kondusif bagi lahirnya para pemimpin muda yang berkualitas. Meminjam istilah Bung Karno, suasana kampus harus dikembalikan sebagai “kawah candradimuka” untuk menggembleng kaum muda agar siap tampil menjadi pemimpin bangsa, dan tidak sekadar menjadi tempat berburu gelar sarjana. Para pemimpin tua harus membuka peluang bagi kaum muda untuk tampil ke depan.


Dan, last but not least, para pemuda sendiri harus menyadari dan menyiapkan diri bahwa merekalah pemimpin masa depan negeri ini. Mereka harus merebut kesempatan mengejawantahkan gagasannya yang brilian. Seperti kata Hatta, sebagai pemuda, kita harus berani berteriak lantang: Ini dadaku, mana dadamu! []

Catatan: pernah dimuat Harian Solo Pos (2007) dan disampaikan dalam temu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).







No comments: