Jun 10, 2009

Bung Karno dan Misi Abadi PDI Perjuangan




Bangsa yang besar adalah bangsa yang tiap hari digembleng oleh keadaan,
digembleng hampir hancur lebur, bangkit kembali (Soekarno).


Oleh: Aria Bima*
Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan


Saudara-saudara, para nasionalis dan Soekarnois sejati, kader PDI Perjuangan!
Pemimpin boleh saja mati atau berganti. Namun ajaran pemimpin rakyat sejati akan tetap diikuti dan menjadi inspirasi abadi bagi bangsa ini. Demikian pula dengan ajaran-ajaran Bung Karno. Bung Karno memang telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, beristirahat dengan tenang di kota kelahirannya, Blitar, Jawa Timur. Tetapi, selama NKRI masih tegak berdiri, maka pemikiran atau gagasannya akan tetap hidup dan menjadi rujukan bagi ratusan juta warga negeri ini. Pada saat bangsa ini beruntun ditimpa krisis multi dimensi, misalnya, maka seperti saya kutip di atas, ucapannya dapat menjadi api semangat bagi kita untuk bangkit dan tidak menyerah pada keadaan.




Orde Baru bisa saja menyingkirkan Bung Karno secara fisik, tapi toh mereka tetap harus mempertahankan dasar negara Pancasila, warisan Bung Karno. Meski Orde Baru-Soeharto lantas memanipulasi Pancasila tersebut menjadi sarana untuk membungkam lawan-lawan politiknya: mereka yang kritis atau tidak sejalan dengan pemerintah dicap sebagai anti-Pancasila atau tidak Pancasilais. Sementara perilaku penguasa Orde Baru sendiri justru bertabrakan dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Mereka korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyengsarakan kehidupan rakyat dan dampaknya masih kita rasakan hingga hari ini. Mereka juga menginjak-injak hak asasi, membantai ratusan ribu rakyat sendiri. Sejak pembantaian orang-orang yang dituduh PKI atau ektrem kiri pada 1960-an hingga pembantaian orang-orang Islam yang dituduh ekstrem kanan, seperti kasus Tanjung Priok dan Lampung pada 1980-an. Walhasil, Orde Baru seperti maling teriak maling! Mereka hanya menunggangi warisan Bung Karno demi melanggengkan kekuasaannya sendiri.
Kitalah, kaum nasionalis sejati yang tergabung dalam PDI Perjuangan, yang seharusnya menjadi anak ideologis Bung Karno; menjadi generasi penerus yang konsisten dan konsekuen berjuang demi tercapainya cita-cita luhur Bung Karno.
Akan tetapi, bukankah kita sudah merdeka? Bukankah cita-cita Bung Karno memerdekakan bangsa ini telah tercapai melalui Proklamasi 17 Agustus 1945? Betul, kita sudah merdeka. Namun, seperti pesan Bung Karno berkali-kali, kemerdekaan nasional bukanlah tujuan akhir. Kemerdekaan nasional hanyalah syarat untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kemerdekaan nasional hanyalah jembatan emas untuk meraih kehidupan rakyat yang adil dan sejahtera lahir batin.
Maka dari itu, secara historis, riwayat perjuangan PDI Perjuangan memiliki sejarah yang amat panjang. Ia dimulai sejak pemuda Soekarno yang berusia 16 tahun mendirikan gerakan Tri Koro Darmo yang artinya tiga tujuan suci, yakni kemerdekaan politik, kemerdekaan ekonomi, dan kemerdekaan sosial. Tiga tujuan suci inilah yang dibelakang hari dikenal sebagai Trisakti, yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Kita memang sudah merdeka secara politik. Bahkan sekarang berhasil menegakkan sistem politik demokratis, yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Namun, dalam bidang ekonomi, kita belum berdikari. Justru negeri ini makin hari makin menjadi pelayan asing dengan diterapkannya sistem ekonomi neoliberal; sistem yang hanya menguntungkan perusahaan multinasional asing dan mereka yang kaya dan berkuasa.
Dalam kenyataan, banyak kesenjangan terjadi. Hanya 10 persen rakyat yang menguasai 80 persen pundi-pundi rezeki negeri. Maka sangat relevan ucapan Soekarno dalam biografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia: “Aku melihat rakyat tani dengan kaki-ayam berjalan lesu menuju pondoknya yang buruk…Aku memandang ke dalam keputusasaan dari setiap laki-laki dan perempuan yang kulihat. Aku merasa hanyut bersama rakyatku. Rakyatku yang miskin lagi papa.”
Pemandangan seperti digambarkan Soekarno muda itu masih jamak kita lihat sehari-hari. Jutaan petani, nelayan, buruh hidup sangat miskin. Ribuan gelandangan terlunta-lunta di jalanan kota-kota besar negeri ini. Antrean panjang warga miskin berebut minyak tanah, gas, minyak goreng, raskin, dan sebagainya. Pendeknya setengah abad lebih negeri ini merdeka, tapi mayoritas warganya masih tertindas secara ekonomi. Hanya segelintir mereka yang pernah menjadi kroni-kroni Orde Baru yang bergelimang harta.
Sementara itu, kebudayaan kita juga kian kebarat-baratan dan kehilangan karakter keindonesiaannya. Dalam interaksi sosial pun fanatisme golongan, entah berdasar agama atau suku, justru kian mengemuka. Semangat kebhinnekaan atau pluralisme yang menjadi salah satu roh jati diri bangsa semakin terpinggirkan.
Maka, sebagai Soekarnois dan nasionalis sejati, segenap kader PDI Perjuangan harus merasa terpanggil oleh tugas sejarah untuk menuntaskan agenda besar yang masih tersisa itu. Kemerdekaan politik nyaris tiada artinya jika realitanya –meminjam istilah Soekarno— mayoritas rakyat hanya menjadi kuli di negerinya sendiri dan bangsa kita menjadi bangsa kuli di antara bangsa-bangsa di dunia. Menjadi kuli dari usaha-usaha besar multinasional (multinational corporation/MNC) dan menjadi bangsa kuli dari bangsa-bangsa yang lebih maju, yang mengeruk kekayaan dan keuntungan dari bumi Indonesia, melalui pintu globalisasi yang berwajah neolib atau pasar serba-bebas.
Kemerdekaan juga nyaris tiada artinya jika kita gagal membangun kebudayaan nasional yang berkarakter. Sebab kita hanya akan menjadi bule-bule berkulit sawo matang yang memiliki pola pikir dan pola hidup plagiat dari orang-orang Barat. Sementara kita baru merasa kebakaran jenggot ketika satu atau dua unsur kebudayaan nasional kita diklaim sebagai milik negara asing, seperti terjadi dengan kasus Reog Ponorogo atau lagu Rasa Sayange.
Karena itu, wahai para Soekarnois dan nasionalis sejati, mari bangkit menjadi kader partai yang militan dan ideologis. Kader partai yang siap berkorban demi kemajuan dan tercapainya cita-cita partai. Jangan berpartai sekadar untuk mencari hidup, namun justru hidup-hidupilah partai ini. Seperti kata Bung Karno, tegakkan selalu slogan no sacrifice is wasted dalam dadamu, slogan bahwa tidak ada pengorbanan kita yang sia-sia.
Sebagai kader militan, tidak pantas kita terlalu mudah berkeluh kesah. Sebab, kata Bung Karno, “keluh adalah tanda kelemahan jiwa.” Jadikan segala keterbatasan sebagai penyemangat: Sadarilah partai ini memang partainya wong cilik, kaum Marhaen, yang melarat. Justru karena itulah kita bersatu memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi kaum serba melarat itu. Dan hendaknya diingat, seberat-beratnya perjuangan sekarang, sejatinya belum apa-apanya dibandingkan penderitaan dan kesulitan hidup yang dihadapi para bapak bangsa dulu. Mereka berani dan bisa. Kenapa kita harus takut dan ragu?
Ingat pesan Bung Karno: even onward, never retreat! Maju terus, pantang mundur!
Merdeka! []



* Disampaikan untuk Training for Trainers Nasional Saksi Pemilu Legislatif 2009 PDI Perjuangan.

No comments: