Jun 10, 2009

MENGAYOMI PLURALITAS DENGAN PAHAM KEBANGSAAN



“Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat...Kita hendak mendirikan negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan.. Maka, yang selalu mendengung di dalam jiwa saya, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia”
[Soekarno, Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945]





Oleh: ARIA BIMA*
Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI




ADALAH suatu realitas obyektif bahwa sejak lama bangsa kita adalah bangsa yang sangat majemuk atau plural. Tidak saja dari segi suku bangsa, ras, atau adat istiadat, tapi juga agama dan keyakinannya. Suku Jawa saja, yang acap dilihat sebagai satu suku yang homogen, faktanya amat plural. Dari suku Jawa yang mukim di Jawa Tengah, misalnya, terbagi atas beberapa subsubkultur yang beragam. Misalnya subkultur Solo, subkultur Yogyakarta, subkultur Banyumasan, dan subkultur Samin di pantai utara Jawa. Orang-orang Jawa Tengah di wilayah Solo dan Yogya belum tentu memahami bahasa Jawa ngapak-ngapak yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat Jawa Banyumasan. Coba buat Anda yang berasal dari Solo atau Yogya, tebak arti kata ini: inyong kencot wetenge. Belum tentu tahu, bukan? Ini belum termasuk orang Jawa yang mukim di Jawa Timur. Antara orang Surabaya dan Malang saja sudah memiliki dialek atau bahkan tradisi yang berbeda.



Demikian pula dengan komunitas Islam Indonesia, yang kerap dipersepsikan sebagai umat yang tunggal. Sejatinya kenyataannya amat beragam. Ada orang Islam yang mengikuti tradisi NU, ada yang mempraktekkan Islam ala Muhammadiyah, ada yang bergaya sufistik, ada yang masih sinkretis dengan warisan animisme-dinamisme, ada yang Syiah, ada yang gemar berjubah seperti Jamaah Tabligh atau Salafi, ada yang minimalis alias Islam abangan, dan seterusnya. Begitu juga dengan umat Kristen yang terbagi-bagi dalam sekte atau mazhab yang amat banyak.


Dengan kata lain, secara faktual, pluralitas atau kemajemukan bagi kita ialah suatu keniscayaan, bukan suatu pilihan. Ia adalah hukum alam alias natural law, atau ketentuan Tuhan yang dalam istilah “guru bangsa” kita, almarhum Nurcholish Madjid, disebut sebagai sunnatullah. Karena keniscayaan, maka pluralitas tak bisa kita tolak dengan pilihan lain, misalnya dengan keseragaman, apalagi penyeragaman ala Orde Baru yang otoriter. Penyeragaman yang dipaksakan hanya menghasilkan kekerasan dan penindasan; menyisakan praktek kekuasaan yang amat menyeramkan, seperti tragedi pembantaian ribuan anak bangsa yang terjadi sepanjang sejarah Orde Baru dulu.


Karena keragaman atau pluralitas adalah keniscayaan, maka problem yang dihadapi para pendiri negara dulu bukanlah keputusan untuk memilih kemajemukan atau ketunggalan, melainkan mencari formula atau infrastruktur kenegaraan yang mampu mengayomi pluralitas itu dalam wadah keindonesiaan. Menampung keragaman dalam kesatuan atau menyatukan keberagaman dalam kebersamaan: bhinneka tunggal ika. Unity in diversity. Dan formula atau infrastruktur yang oleh bapak penggali Pancasila, Bung Karno, dipandang mampu memikul tugas mahaberat itu ialah paham kebangsaan atau nasionalisme, yang kemudian diakomodasi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi sila ketiga Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945.



KENAPA PAHAM KEBANGSAAN?


Pertanyaannya, kenapa mesti paham kebangsaan atau nasionalisme. Mengapa bukan paham keagamaan atau kedaerahan?


Soalnya adalah hanya paham kebangsaan yang dapat mengatasi keterikatan kita, masing-masing anak bangsa, kepada ikatan primordialnya. Hanya dalam posisi kita sebagai sesama bangsa Indonesia –dalam perasaan kita senasib sepenanggungan sebagai bangsa Indonesia— yang bisa mengatasi loyalitas-loyalitas sempit berdasar ideologi partisan, agama, adat, suku, ras, daerah, dan seterusnya.


Seperti pernah diuraikan Soekarno, sebelum era Republik Indonesia, bangsa Indonesia hanya dua kali merasakan sebagai negara nasional atau negara-bangsa. Yaitu pada masa Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya. Di luar itu, entitas bangsa yang menjelma menjadi negara atau kesatuan politik masih bersifat lokal atau parsial. Misalnya Kerajaan Gowa yang hanya meliputi suku Bugis di Sulawesi, Kerajaan Mataram yang hanya mencakup sebagian suku Jawa, Kerajaan Ternate yang hanya terdiri dari sebagian suku bangsa di Maluku, dan sebagainya. Dari kesatuan politik yang hanya lokal ini terbukti dalam sejarah: gagal mengantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya dari penjajahan Belanda. Baru tatkala perjuangan kita bersifat nasional, meliputi seluruh warga bangsa dari Sabang sampai Merauke, maka perjuangan itu berhasil mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.


Dengan paham kebangsaan sebagai salah satu asas negara, maka orang Islam, orang Kristen, orang Jawa, orang Batak, orang keturunan Tionghoa, semuanya memiliki perasaan atau kehendak yang sama sebagai satu bangsa Indonesia. Rasa kebangsaan dengan demikian mampu menjadi wahana titik temu (common denominator) keberagaman latar belakang warga negara Indonesia. Dengan kebangsaan, maka kemajemukan bukan menjadi kutukan yang menyeret kita ke dalam perpecahan, tapi justru menjadi faktor yang memperkaya kesatuan atau rasa memiliki (sense of belonging) kita sebagai warga negara Indonesia. Dengan kata lain: kemajemukan justru menjadi anugerah.


Dengan paham kebangsaanlah kita bisa merasakan semangat “semua buat semua”. Dengan paham kebangsaan, kita menjadi memiliki kesetaraan di depan hukum dan pemerintahan (equality before the law) tanpa harus mengalami diskriminasi lantaran perbedaan latar belakang primordial atau ikatan sempit seperti suku, agama, ras, atau kedaerahan.


Di sini kebangsaan bukan sesuatu yang menegasikan keberagaman kita sebagai bangsa, namun justru mengayomi keserbamajemukan itu ke dalam wadah yang satu: yakni bangsa Indonesia.


Secara historis, paham kebangsaan telah terbukti mampu mentransformasikan kesadaran kita dari yang awalnya bersifat sempit berdasar kesukuan atau keagamaan, menjadi kesadaran nasional, kesadaran akan keindonesiaan. Sebelum spirit kebangsaan Indonesia muncul, yang lebih dulu mengemuka adalah spirit berdasar suku, agama, atau kedaerahan. Misalnya dalam bentuk Jong Java, Jong Ambon, Jong Islam, Jong Sumatera, dan sebagainya. Baru kemudian, seiring meluasnya pengaruh Budi Utomo pada 1908, Sarekat Islam (SI) pada 1911, dan Pergerakan Indonesia (Indonesische Vereniging) pada 1921, maka embrio spirit kebangsaan yang bersifat nasional muncul ke permukaan. (Patut diingat: meski BU lebih ke Jawa dan SI merupakan gerakan Islam, tapi amat berperan dalam persemaian ide kebangsaan Indonesia). Ini kemudian melahirkan Sumpah Pemuda pada 1928 yang secara eksplisit mengemukakan semangat kebangsaan Indonesia. Dari sini akhirnya bermuara pada lahirnya negara kebangsaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.



PLURALISME:

REVITALISASI PAHAM KEBANGSAAN


Hanya saja, karena kemerdekaan telah tercapai, dan kebangsaan Indonesia telah menjadi kenyataan, belakangan ini seolah-olah terasa kuno apabila kita membicarakan relevansi nasionalisme atau paham kebangsaan tersebut. Orang pun lantas lebih suka memakai terminologi pluralisme atau cara pandang yang menghormati keanekaragaman atau pluralitas kita sebagai bangsa.*


Padahal pluralisme itu secara substansi tak ada bedanya dengan cara pandang kebangsaan atau nasionalisme. Hanya masalah aksentuasinya saja yang agak berbeda. Nasionalisme secara langsung dikaitkan dengan eksistensi kita sebagai bangsa Indonesia, sedangkan pluralisme lebih sering dikaitkan dengan masalah hak asasi manusia atau sila ketuhanan dan kemanusiaan dalam Pancasila. Akan tetapi keduanya sebenarnya sama-sama mengapresiasi keragaman sebagai sebuah keniscayaan.


Yang penting digarisbawahi adalah baik paham kebangsaan maupun pluralisme mestinya disebarkan ke dalam benak masyarakat sebagai sebuah kesadaran atau pengetahuan, bukan dengan paksaan. Sebab ketika kebangsaan atau pluralisme diaplikasikan dengan paksaan (koersif) atau malah kekerasan (violence), maka ia menjadi proyek yang bersifat otoritarian dan tidak demokratis. Kebangsaan bila dipaksakan secara top-down hasilnya adalah penyeragaman ala proyek asas tunggal yang meminggirkan keragaman warga bangsa atau penciptaaan hantu SARA oleh Orde Baru yang menakut-nakuti rakyat akan perbedaan.


Sementara jika pluralisme dipaksakan terhadap entitas-entitas primordial yang homogen, maka justru akan meniadakan kekhasan masing-masing kelompok yang mestinya memang beragam atau berbeda antara satu dengan yang lain. Kelompok-kelompok yang secara internal relatif homogen seperti Gereja Katolik, Muhammadiyah, atau perkumpulan warga keturunan etnis Tionghoa, misalnya, tidak perlu ditekan untuk mempluralkan dirinya sendiri. Yang penting ialah adanya kesadaran mereka untuk menghormati pluralitas yang merupakan fakta tak terbantahkan dari kondisi alamiah bangsa Indonesia.


Maka, pluralisme atau nasionalisme yang dikembangkan –untuk tetap menjaga tegaknya negara kebangsaan Indonesia secara sehat dan alamiah—, mestinya ialah pluralisme dan nasionalisme yang bersifat partisipatif atau demokratis. Dengan kata lain, harus menghormati semua entitas yang homogen atau berbeda tetap dalam homogenitas atau perbedaannya, namun seiring dengan itu kita mendorong entitas-entitas ini menjadi apresiatif terhadap kekhasan entitas lainnya sekaligus apresiatif terhadap kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa.


Artinya, kita melakukan desiminasi bahwa Indonesia sebagai lebensraum (ruang hidup bersama) di satu sisi menenggang keragaman berbagai unsur pembentuk bangsa untuk tetap memelihara kekhasannya masing-masing, namun di sisi lain juga menuntut penghormatan atas spirit kesatuan atau kebersamaan sebagai satu bangsa yang sama. Dengan demikian, maka nasionalisme –atau bahasa masa kininya pluralisme— akan mampu menyediakan dirinya menjadi payung yang mengayomi keragaman kita sebagai bangsa, sekaligus menjamin kesatuan kita sebagai negara bangsa atau satu kekuatan nasional. Dengan kata lain, menjamin tegaknya Indonesia sebagai suatu rumah kebangsaan bagi beragam entitas bangsa yang berbeda-beda tapi memiliki spirit keindonesiaan yang sama. Semoga! []
* Makalah disampaikan dalam DIALOG NASIONAL PANGGUNG KEBANGSAAN, BEM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 31 Mei 2007.
* Ada banyak batasan tentang pluralisme. Salah satunya yang ekstrem ialah pandangan hidup yang mencita-citakan pluralisasi atau pemajemukan segala sesuatu. Batasan ini tak dianut di sini.

No comments: