Jun 9, 2009

Urgensi Interpelasi Lumpur Lapindo




Oleh:

ARIA BIMA
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan,

Pengusul Hak Interpelasi Lumpur Lapindo
 



DPR telah menjadwalkan sidang interpelasi kasus lumpur Lapindo pada 17 Juli 2007. Karena itu mungkin publik bertanya: kenapa DPR bersikukuh menginterpelasi pemerintah terkait lumpur Lapindo? Bukankah Presiden baru saja berkunjung ke Sidoarjo?



Jawaban atas hal ini bisa beragam. Tapi, yang jelas, DPR memandang kasus lumpur Lapindo sebagai masalah penderitaan rakyat. Bahkan, penderitaan itu sudah setahun lebih. Bayangkan: hidup di pengungsian dengan tiada kepastian masa depan, fasilitas serba minim, dan lama, bukan perkara mudah. Mata pencaharian hilang, harta benda musnah, ancaman gangguan kesehatan massal –demam berdarah, diare, penyakit saluran pernapasan, atau stres dan sakit jiwa— senantiasa menghantui keluarga yang terlalu lama hidup di pengungsian.





Untunglah jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini masih bisa menangis mendengar kisah sebagian korban lumpur itu. Tapi tangis Presiden belum apa-apa dibandingkan tangisan para korban. Mereka nyaris tiap hari telah menangis, selama 350 hari lebih, sebelum SBY menangis. Boleh jadi kini mereka tak lagi bisa menangis, karena air mata sudah habis, sedangkan kesengsaraan terus terjadi. Toh usai kunjungan Presiden, penyelesaian klaim ganti rugi tanah atau rumah yang terendam lumpur panas masih berlarut-larut. Bahkan ada kabar dari lokasi pengungsian: beberapa keluarga terpaksa melepas anak gadisnya melacur demi mempertahankan hidup!

Penderitaan rakyat inilah alasan utama yang mendasari komitmen DPR untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah dalam kasus lumpur Lapindo melalui forum interpelasi DPR. Jadi ini bukan upaya politisasi sekadar untuk menyudutkan pemerintah atau mendongkrak citra DPR.

Maka, ketika ada indikasi pemerintah melakukan pembiaran terhadap para korban lumpur yang dipermainkan Lapindo, dalam proses pencairan ganti rugi, DPR merasa terpanggil tampil ke depan. Bagaimana pemerintah begitu peduli dengan nasib pengusaha –sehingga sempat menawarkan opsi dana talangan bagi Lapindo, misalnya— sementara pada saat sama acuh tak acuh tatkala Lapindo mengulur-ulur dan mempersulit pembayaran ganti rugi.

Sebagai lembaga legislatif, yang mengemban fungsi pengawasan, DPR harus memainkan peran check and balances atas segala perilaku pemerintah. Ingat, ada kecenderungan kekuasaan selalu disalahgunakan, seperti dalil Lord Acton: power tends to corrupt. Maka, kinilah saatnya DPR harus trengginas mengawasi kinerja pemerintah, sesuai amanat konstitusi. Dan, interpelasi ialah salah satu instrumen pengawasan itu.


Akibat Ulah Manusia
Niat menginterpelasi makin kuat setelah DPR menengarai kasus lumpur Lapindo bukan bencana alam (natural disaster), tapi akibat kelalaian manusia (man made disaster), terutama menyangkut kekeliruan teknologi penambangan yang diaplikasikan Lapindo. Maka, merujuk Pasal 6 ayat (2) huruf c UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas, harusnya pihak Lapindo yang bertanggung jawab mutlak atas segala risiko yang muncul dari upaya penambangan ini.

Menurut UU No.23/1997 tentang Lingkungan Hidup, Lapindo Brantas juga yang mesti bertanggung jawab atas segala kerusakan lingkungan akibat bencana lumpur yang ditimbulkannya. Bahkan menurut pasal 35 ayat (1) UULH, penggugat (LSM, pemerintah, atau warga korban) tak harus membuktikan unsur kesalahan Lapindo untuk dapat memperkarakannya ke pengadilan.

Sayangnya, hingga kini belum ada proses hukum yang tegas terhadap Lapindo. Ini berbeda dengan saat kita menghadapi pencemaran Teluk Buyat di Sulawesi Utara, pada 2004. Dalam kasus ini aparat langsung menahan Richard Ness, Presiden Direktur PT Newmont Minahasa Raya, yang dianggap harus bertanggung jawab. Karena itu patut dipertanyakan: Kenapa ada diskriminasi? Jangan-jangan ada conflict of interest di belakangnya. Padahal, sebagai negara hukum, mestinya berlaku asas kesamaan di muka hukum (equality before the law).

Lebih dari itu, juga ada indikasi Presiden melampaui kewenangannya dalam mengeluarkan Peraturan Presiden No.14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Sesuai pasal 7 UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, harusnya Perpres mengatur hal-hal yang bersifat regeling atau pengaturan umum. Tapi Perpres ini justru mengatur hal khusus dan konkret, yakni penetapan jumlah tertentu (20% uang muka ganti rugi, misalnya) yang harus dibayar Lapindo dan juga membebankan sebagian biaya penanggulangan dampak lumpur kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mestinya penetapan ini menjadi domain pengadilan.

Walhasil, selain tak sesuai peruntukannya, substansi Perpres juga menunjukkan keberpihakan kepada PT Lapindo Brantas. Sebab Perpres melakukan diskresi dengan membebankan sebagian biaya penanggulangan dampak kesalahan Lapindo kepada rakyat melalui APBN. Padahal diskresi mestinya diambil demi kepentingan rakyat yang menjadi korban, bukan untuk menguntungkan suatu korporasi atau perseorangan. Perpres juga melanggar UU No.22/2001 tentang Migas. Sebab, menurut UU ini, segala dampak proses penambangan menjadi tanggung jawab badan usaha penambangan.

Maka, sudah tepat jika DPR –meminjam ungkapan Bung Karno— berprinsip ever onward never retreat alias maju terus pantang mundur dalam interpelasi lumpur Lapindo. Menyangkut kebijakan pemerintah yang baik dan benar pun DPR dituntut tetap kritis, apalagi dalam kasus Lapindo ini kebijakan pemerintah terkesan ragu-ragu, tidak tegas, dan bernuansa lebih memihak kepentingan pengusaha daripada rakyat banyak yang menjadi korban.

Kita tak perlu alergi dengan interpelasi. Sebab interpelasi hanya forum bagi DPR untuk bertanya kepada pemerintah, sekaligus menjadi wahana bagi pemerintah menjelaskan latar belakang kebijakannya. Interpelasi juga menjadi alat parlemen menekan eksekutif agar lebih serius menangani dampak lumpur Lapindo. Dari sini nantinya ada tindak lanjut berupa panitia khusus atau panitia kerja DPR yang bertugas memonitor kinerja pemerintah dari hari ke hari. Tak hanya kinerja dalam penuntasan ganti rugi, tapi juga pembenahan infrastruktur, proses hukum atas Lapindo, penanggulangan dampak lingkungan, dan penghentian semburan lumpur secara total. [] Catatan: Dimuat Jawa Pos, 17 Juli 2007.

No comments: