Jan 12, 2010

Ide Mempahlawankan Soeharto Reaksioner


Jakarta – Usulan memberikan gelar pahlawan bagi mantan Presiden RI Soeharto hanya reaksioner. Ide tersebut merupakan reaksi sejumlah pihak atas merebaknya usulan masyarakat untuk mempahlawankan Gus Dur atau mantan Presiden RI ke-4, KH Abdurrahman Wahid. 


“Karena itu mari kita lihat secara jernih. Apakah rekam jejak Pak Harto pantas diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional? Terutama dikaitkan dengan dimensi kepentingan rakyat secara luas,” kata anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan, Aria Bima, di Jakarta, Kamis (7/1/2010).






Terkait klaim keberhasilan pembangunan ekonomi Orde Baru, misalnya, Aria Bima mempertanyakan, apakah pembangunan itu betul-betul diabdikan bagi kepentingan rakyat secara keseluruhan? Atau, sebaliknya, pembangunan tadi justru untuk kepentingan asing? Yakni dalam rangka melaksanakan agenda IGGI, IMF, dan sebagainya, agar sistem perekonomian Indonesia menjadi kondusif bagi kepentingan kapitalisme internasional? 


Sebab, Aria Bima menilai, rezim ekonomi neoliberal yang sangat pro-pasar bebas sekarang ini mulai diletakkan dasar-dasarnya pada era kepemimpinan Presiden Soeharto. “Pak Haro itu sangat pro-neoliberalisme. Dasar pokok kebijakan ekonominya bukan kepentingan rakyat Indonesia,” kata wakil ketua Komisi VI (Perdagangan, BUMN) DPR RI ini.


Menurut Aria Bima, jika pertimbangan utama Pak Harto dalam pembangunan ekonomi ialah kepentingan rakyat seharusnya hasilnya makin bisa menekan kesenjangan kaya dan miskin, kota dan daerah. Namun faktanya, justru kesenjangan itu kian melebar, seiring pembangunan ekonomi yang dilansir Orde Baru. 


“Yang lebih parah, Pak Harto justru mewariskan tradisi korupsi sistemik dan massal, sejak di pusat hingga daerah, yang sangat sulit diatasi hingga kini. Bahkan PBB juga menetapkan mantan Presiden Soeharto sebagai pelaku tindak korupsi terbesar di dunia. Bagaimana sosok yang dinilai sebagai koruptor nomor satu dunia malah akan dipahlawankan?” imbuhnya.


Sementara dari aspek politik, kata Aria Bima, kinerja Pak Harto selama 32 tahun kekuasaannya pun patut dipertanyakan. 


“Proses naiknya Pak Harto sebagai penguasa jelas-jelas mengakibatkan jatuhnya banyak korban rakyat sipil yang tak bersalah. Ini masih diteruskan peristiwa pelanggaran HAM sejenis, seperti pembantaian di Tanjung Priok, Lampung, dan lain-lain. Ini jelas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity),” urainya. 


Butuh Klarifikasi 
Menurut Aria Bima, semua warga negara Indonesia yang memenuhi syarat, termasuk Soeharto, bisa saja diusulkan menjadi pahlawan. Akan tetapi, merujuk UU No 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan, pemberian gelar, tanda jasa, dan kehormatan tidak bisa instan begitu saja.


Pasal 16 UU ini tegas menyatakan, perlu dibentuk Dewan Gelar Tanda Jasa dan Kehormatan (DGTJK) yang akan memberi rekomendasi kepada Presiden ihwal gelar yang akan diberikan, berdasarkan prestasi dan kualifikasi tokoh yang bersangkutan.


Terkait hal itu, Aria Bima menegaskan, DGTJK nantinya harus lebih dulu mengklarifikasi sejumlah tuduhan, baik korupsi maupun pelanggaran HAM, yang ditujukan oleh publik maupun PBB terhadap mantan Presiden Soeharto.


“Sebab menyangkut tuduhan melakukan tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM tersebut hingga kini nyaris tak ada bukti sebaliknya yang menyangkal,” katanya. [] (Keterangan: Siaran Pers ini antara lain dimuat suaramerdeka.com).

1 comment:

Unknown said...

loh, mas bima tyt punya blog toh?
tp keknya gak ditulis sendiri ya...
kumpulan kliping2 berita ya..

tp bagus lah...