Jan 14, 2010

Renegosiasi ACFTA: Kepentingan Nasional Harus Jadi Acuan




 JAKARTA -- Perjanjian kawasan perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Area, ACFTA) yang melibatkan Indonesia dan mulai berlaku sejak 1 Januari 2010 patut dicermati lagi oleh semua pihak. 

“Ini mengingat efek dominonya sangat luar biasa,” kata Wakil Ketua Komisi VI (Perdagangan, Perindustrian, dan BUMN) DPR, Aria Bima, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan para Direktur Jenderal Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, di Gedung DPR, Kamis (14/1/2010).



Dampak pelaksanaan ACFTA ini, menurut Aria Bima, lebih berbahaya daripada skandal Century. Sebab efeknya tak hanya sementara, melainkan bersifat permanen dan jangka panjang. Nilai kerugiannya pun bisa mencapai puluhan bahkan ratusan triliun rupiah.

Lebih dari itu, dampaknya bukan saja bisa membuat gulung tikarnya industri nasional, merajalelanya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan membengkaknya pengangguran, tapi juga semakin merosotnya kesejahteraan rakyat.

“Karena itu, kepentingan nasional atau national interest kita harus menjadi pertimbangan utama dalam renegosiasi ACFTA. Sebelum negosiasi ulang, implementasi ACFTA harus ditunda dulu. Jika tidak, kita belum selesai melakukan renegosiasi yang makan waktu lama, bisa-bisa industri nasional sudah lebih dulu tutup atau mati,” katanya.

Aria Bima menegaskan, pemerintah jangan ragu memperjuangkan kepentingan nasional di tengah arus globalisasi saat ini. Jangan karena sekadar ingin dinilai sebagai bangsa yang memegang teguh perjanjian internasional, namun kepentingan nasional justru dikorbankan dan industri dalam negeri hancur.

“Demi kepentingan nasional, Bung Karno dulu berani keluar dari PBB. Mengapa kita takut menunda atau bahkan menolak ACFTA?” kata politisi PDI Perjuangan ini.

Maka Aria Bima mendesak pemerintah, khususnya jajaran Kementerian Perdagangan dan Perindustrian, untuk mengkaji untung-ruginya jika ACFTA terpaksa kita batalkan secara sepihak pelaksanaannya.  

“Apa implikasinya bagi Indonesia? Apa akan dikenai sanksi oleh WTO atau dikucilkan dari perdagangan internasional? Tolong dikaji secara komprehensif. Kita harus berani memilih: kepentingan nasional atau ACFTA,” kata dia.

Rekomendasi
Sementara dalam kesimpulan rapatnya, Komisi VI DPR RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera mengambil langkah menunda dan kemudian merenegosiasi ACFTA dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Ini demi menghentikan gejala deindustrialisasi yang selama lima tahun terakhir dialami Indonesia.  “Mengingat masih banyak sektor industri dalam negeri yang belum siap menghadapi kesepakatan perjanjian perdagangan bebas, khususnya FTA dengan China,” tulis kesimpulan itu.

Komisi VI juga mendesak pemerintah segera mengkaji secara komprehensif kerugian dan keuntungan implementasi ACFTA bagi Indonesia. Bersamaan dengan itu, mereka juga mendesak pemerintah melakukan langkah-langkah konkret guna mendongkrak daya saing industri nasional, memperbaiki iklim usaha, dan mendayagunakan segala instrumen nontarif untuk melindungi industri dalam negeri.

Selain itu, Komisi VI juga mendesak pihak eksekutif meningkatkan koordinasi lintas sektoral maupun pemangku kepentingan, demi menyatukan persepsi dan langkah-langkah menghadapi era perdagangan bebas. Desakan ini muncul menyusul tidak sinkronnya pemaparan jajaran direktorat jenderal Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian di depan Komisi VI DPR.

Di satu sisi, presentasi pihak Kementerian Perdagangan mengatakan, ACFTA akan meningkatkan arus dan volume perdagangan antara ASEAN dan China, serta membawa keuntungan bagi Indonesia. Namun pada saat yang sama, jajaran Kementerian Perindustrian justru mengemukakan belum siapnya industri dalam negeri menyongsong pasar bebas ASEAN-China.

Jajaran Kementerian Perindustrian juga menyatakan kekhawatirannya bahwa implementasi ACFTA bisa menghancurkan industri dalam negeri dan karena itu berarti meluasnya gejala deindustrialisasi atau tutupnya pabrik-pabrik di Indonesia. Gejala yang lazimnya disusul meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan. [] 

1 comment:

RINI SARI HANDICRAFT said...

selama arah kebijakan ekonomi nasional berkiblat ke neoliberalisme maka akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mengambil langkah-langkah pencegahan atas bahaya ACFTA. praktek kolonialisme akan kembali hadir dengan Indonesia hanya sebagai pengekspor bahan mentah tanpa ada nilai tambah. untuk itu saatnya ujung tombak penentu kebijakan ekonomi kita diisi oleh orang2 yg pro nasionalisme!