![]() |
Menkeu seusai Raker di Komisi VI DPR (Foto: Tribun) |
“Komisi VI DPR selama ini berusaha mendorong segala aspek yang mendukung daya saing produk dalam negeri. Sebaliknya PMK 147 justru merugikan industri dalam negeri dan melemahkan daya saing nasional,” kata Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima, di Jakarta Rabu (1/2/2012)
PMK 147 Tahun 2011 membatasi industri yang mendapat fasilitas kawasan berikat ( bonding zone), maksimal hanya dapat menjual produknya ke pasar dalam negeri sebesar 25 persen. Sisanya, sebesar 75 persen, wajib diekspor. PMK juga mewajibkan seluruh industri kawasan berikat pindah ke kawasan industri.
Para anggota dewan menurut Aria Bima sepakat, dengan kondisi perekonomian dunia yang mengalami kelesuan sekarang ini. Kewajiban ekspor 75 persen sangat memberatkan. Demikian pula kewajiban merelokasi pabrik ke kawasan industri.
Nasril Bahar, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), mencurigai ada kepentingan asing di balik keluarnya PMK 147. Sebab dengan PMK ini, produk asing bebas membanjiri Indonesia melalui fasilitas perjanjian perdagangan bebas AFTA, ACFTA, dan seterusnya.
Sementara produk Indonesia justru dibatasi dijual negeri sendiri.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebelumnya (19/1/2012), telah mengemuka desakan untuk mencabut PMK 147.
Anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Ferari Romawi, yang memulai, agar PMK ini dicabut. “PMK 147, khususnya terkait dengan kawasan berikat, tidak ada manfaatnya dan lebih baik dibatalkan,” kata Ferari.
Menteri Keuangan telah merevisi PMK 147 Tahun 2011 dengan PMK No. 255/PMK.04/2011. Namun Komisi VI DPR menilai, revisi ini tidak cukup.
“PMK 147 menunjukkan menteri keuangan tidak cakap dan asal teken. Kasihan presiden. Cabut saja PMK 147,” tandas Lili Romli, mewakili Fraksi Partai Golkar.
Sejalan dengan Fraksi Golkar, anggota Fraksi Demokrat, Azam Azman Natawijaya, meminta Menteri Keuangan Agus Martowardojo tidak mengeluarkan keputusan bermasalah yang menambah beban pemerintahan Presiden SBY.
“Sebaiknya, rumusan kebijakan yang berdampak luas terhadap masyarakat luas dibahas dengan Kementerian lainnya. Termasuk, dengan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat,” katanya.
Penulis: Rachmat Hidayat | Editor: Yulis Sulistyawan
No comments:
Post a Comment