Jan 13, 2012

Konversi BBM ke Gas Kebijakan Tambal Sulam

Oleh: Misbahol Munir - Okezone


Ilustrasi. Foto: Heru Haryono/okezone
(Ilustrasi Foto: Heru Haryono/okezone)
JAKARTA - Kebijakan konversi BBM ke gas untuk kendaraan bermotor dinilai tidak tepat jika dilaksanakan sekarang ini. Konversi BBM ke gas merupakan kebijakan tambal sulam, tanpa persiapan yang memadai.

"Kebijakan konversi BBM ke gas saat ini terkesan tergesa-gesa, tanpa persiapan matang. Ini hanya akan menyelesaikan masalah dengan membuat masalah baru," ucap Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima, di Jakarta, Selasa (10/1/2012).

Menurut Aria Bima, ada beberapa alasan mengapa ia menyampaikan penilaian itu. Pertama, masyarakat harus membeli alat konversi BBM ke gas (converter kit) yang mahal dan masih harus diimpor. Diperkirakan, harga converter kit ini nyaris Rp 15 juta per buah.

Kedua, stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) masih sangat jarang. Dari seluruh Indonesia baru ada 16 SPBG. Itu pun semua ada di Jakarta dan hanya delapan yang masih bisa beroperasi.

"Jangankan konversi ke gas, jika mobil pribadi diharuskan pindah ke pertamax sekarang saja sudah bermasalah. Ini karena belum semua daerah memiliki stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang melayani pertamax," kata Aria Bima.

Aria memprediksi, bila kebijakan konversi BBM ke gas atau pewajiban mobil pribadi memakai pertamax dilakukan saat ini akan cenderung gagal atau menimbulkan masalah baru. Tak mustahil kasusnya akan mengulangi kekisruhan konversi minyak tanah ke gas beberapa waktu lalu.

Artinya, mobil pribadi dilarang membeli premium bersubsidi, tapi pada saat yang sama mereka kesulitan memperoleh pertamax lantaran SPBU penjualnya belum ada di daerah yang bersangkutan. Atau, kendaraan telanjur dimodifikasi untuk mengkonsumsi gas, namun SPBU penjual gasnya tidak ada atau masih terbatas.

"Ini akan menimbulkan antrean panjang di SPBU-SPBU, bahkan kekacauan di tengah masyarakat,” kata politisi PDI Perjuangan ini.

Maka dari itu, Aria Bima mendesak pemerintah menunda dan mengkaji ulang kebijakan pembatasan premium dan konversi BBM ke gas ini.

Kembali ke Konstitusi

Sebaliknya, Aria Bima justru menyarankan pemerintah kembali ke Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (3) yang berbunyi, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Menurut Aria Bima, jika mengacu konstitusi, masalah subsidi BBM tak seharusnya dilihat dari aspek efisiensi APBN semata. Karena Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekayaan alam, termasuk BBM, harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

"Sebagai salah satu negara penghasil minyak, pemerintah Indonesia sesuai Pasal 33 UUD 1945 seharusnya menjamin tersedianya BBM murah bagi rakyat. Tidak semua yang bermobil itu orang kaya. Banyak pedagang kecil, petani, yang memakai mobil sebagai alat produksi, untuk angkutan sehari-hari," katanya.

Selain itu, pembatasan BBM bersubsidi akan mengakibatkan daya saing produk Indonesia kian tak kompetitif akibat naiknya biaya produksi. Bila produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor di negeri kita sendiri, akibat selanjutnya ialah pengangguran dan pemiskinan massal.

"Efek berantai pembatasan BBM bersubsidi ini harus dicermati pemerintah,” kata pimpinan Komisi VI DPR yang membidangi Perindustrian, Perdagangan, BUMN, dan Koperasi ini. (ade

No comments: